Rabi’ bin Haitsam, Ulama Tabi’in yang Sangat Taat Beribadah

9454
Ilustrasi: Orang tua di gurun. (AFP)

Muslim Obsession – Syahdan, tersebut seorang tabi’in yang sangat alim. Ia termasuk salah seorang dari delapan ulama zuhud yang terakhir pada zamannya. Namanya adalah Rabi’ bin Haitsam.

Diceritakan dalam buku 101 Kisah Tabiin (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), Rabi’ sangat taat beribadah. Bahkan ketaatannya sudah sejak ia belia.

Ketika mendekati masa baligh, suatu malam ibu Rabi’ terbangun. Ia menemukan anaknya sedang bermunajat dan terhanyut dalam shalat.

Sang ibu menegur lembut, ”Apakah engkau tidak tidur, Rabi’?”

“Bagaimana seseorang yang diliputi kegelapan bisa tidur dengan nyenyak sementara ia takut akan serangan musuh?” jawab Rabi’ dengan sopan.

Mengalirlah air mata ibunya membasahi pipi sembari mendoakan putranya agar mendapatkan kebaikan.

BACA JUGA: Seandainya Dunia Memeluk Al-Quran

Ketika Rabi’ tumbuh dewasa, sifat wara’nya bertambah, hampir sepanjang malam ia habiskan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Rintihan tangisnya ketika berdoa di tengah keheningan malam yang makin memilukan.

Mendengar itu, sang ibu tidak bisa tidur. Ia menyangka kalau anaknya telah melakukan dosa besar.

Ketika Rabi’ ditanya ibunya, ia menjawab, ”Betul, Bu. Aku pernah membunuh orang,” jawab Rabi’ sedih.

“Anakku, siapakah yang engkau bunuh? Aku akan menemui kerabatnya. Mungkin mereka mau memaafkanmu. Demi Allah, Aku yakin seandainya keluarga si terbunuh mendengar tangis yang engkau derita dan mengetahui kalau engkau tak banyak tidur malam, niscaya mereka akan mengasihimu,” ujar sang Ibu penuh kecemasan.

“Baiklah, Bu. Tetapi mohon jangan beritahu siapa pun. Sebenarnya aku telah membunuh diriku sendiri dengan tumpukan dosa,” jawab Rabi’.

BACA JUGA: 10 Sahabat Perempuan Nabi yang Jarang Dikenali Publik

***

Itulah sosok Rabi’, seorang murid Abdullah bin Mas’ud yang rendah hati. Ia sangat dicintai gurunya. Hubungannya dengan sang guru laksana anak dengan orang tuanya. Kekaguman sang guru terhadapnya dilatari oleh kemuliaan akhlak dan kecerdasannya, juga ibadahnya yang sempurna.

Ibnu Mas’ud sempat berkata, ”Kalau Rabi’ hidup di zaman Rasulullah, Insya Allah ia tergolong sahabat yang dicintai.“

Suatu hari, Rabi’ kedatangan dua orang tamu, Hilal bin Isaf dan Mundzir ats-Tsauri. Mereka mengucapkan salam seraya bertanya, ”Bagaimana keadaan engkau, wahai syekh?”

”Dalam keadaan lemah, penuh dosa, makan seadanya dan kini sedang menunggu ajal kematian,” jawab Rabi’.

”Seorang dokter piawai telah datang ke kota ini. Apakah Syekh berkenan kalau aku memanggilnya demi kesembuhanmu?” Hilal mengusulkan agar Rabi’ diperiksa dokter.

BACA JUGA: Hafshah Binti Sirin, Anak Budak yang Hafal Quran di Usia 12 Tahun

”Wahai Hilal, aku tak yakin dengan keampuhan obat. Aku jadi teringat akan kebinasaan kaum ’Aad, Tsamud dan lainnya. Aku teringat akan kerakusan mereka terhadap dunia dan kecintaannya terhadap harta. Kekuatan dan kekuasaan mereka lebih besar dan lebih agung daripada kita. Saat itu, banyak tabib dan orang sakit. Tapi akhirnya tak seorang pun yang tetap tinggal, baik tabib maupun pasiennya,” jawab Rabi’.

Kemudian ia menarik napas panjang seraya berkata, ”Kalau itu memang satu-satunya obat, niscaya aku mengambilnya.”

”Jadi, penyakit apakah itu, wahai Syekh?” tanya Hilal. ”Obatnya adalah bertobat,” jawab Rabi’ tegas.

”Lantas bagaimana menyembuhkannya?” tanya Hilal ingin tahu. ”Dengan bertobat dan tidak mengulangi lagi.” jawab Rabi’.

Kemudian ia menatap mereka berdua seraya berkata, ”Waspadalah terhadap keburukan gerakan batin yang tidak tampak oleh manusia, namun jelas di sisi Allah. Carilah obatnya.”

”Apa obatnya?” tanya Mundzir ingin tahu. ”Tobat nasuhah,” jawab Rabi’ seraya menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya.

BACA JUGA: Kisah Saif Rasool, Tukang Sepatu yang Rela jadi Guru Ngaji di Pakistan Tanpa Dibayar

”Mengapa syekh menangis? Bukankah engkau termasuk orang yang saleh?” tanya Mundzir penuh keheranan.

Perbincangan itu makin menarik, sampai waktu tidak terasa berjalan cepat. Saat itu mendekati waktu zuhur, Hilal meminta nasihat kepada Rabi’.

”Hilal, Janganlah terpesona oleh pujian. Mereka tidak mengetahui perihalmu yang sebenarnya kecuali hanya yang tampak. Ingatlah bahwa setiap perbuatan yang bukan karena Allah, hanyalah sia-sia.” kata Rabi’ memberi nasihat.

Kemudian air matanya keluar bercucuran sambil berkata, ”Apa yang dapat kalian lakukan ketika bumi diguncangkan berkali-kali? Ketika para malaikat berbaris dan neraka di perlihatkan?”

Ketika Azan Zhuhur dikumandangkan, ia segera mengajak putranya memenuhi panggilan Allah. ”Wahai syekh! Allah telah memberikan keringanan bagi engkau! Alangkah baiknya kalau engkau shalat di rumah saja.” ujar Mundzir.

”Benar yang kau katakan. Tapi aku telah mendengar suara muazin menyerukan hayya ’alal falah (mari menuju kemenangan). Barang siapa mendengar muazin mengajak kemenangan, maka hendaklah memenuhi panggilannya, sekalipun dengan cara merangkak.” jawab Rabi’.

BACA JUGA: Kisah Sahabat Nabi yang Dibakar dan Dipaksa Murtad

***

Ketakwaan Rabi’ yang begitu luar biasa menjadi buah bibir rekan-rekannya. Suatu ketika Abdurrahman bin Ajlan berkata, “Suatu malam, saya bermalam di rumah Rabi’. Setelah yakin saya tidur nyenyak, ia bangun, kemudian ia shalat. Dalam shalatnya ia membaca ayat dari surah al-Jatsiyah berulang kali hingga fajar menyingsing. Sementara itu, di kedua pelupuk matanya bercucuran air mata bening.”

Banyak juga yang menceritakan tentang rasa takut Rabi’ pada Allah. Sebuah riwayat dari Mundzir mengatakan, ”Suatu hari kami keluar bersama Abdullah bin Mas’ud ra. dan Rabi’ melalui tepi Sungai Efrat.

Di tengah perjalanan kami melihat pabrik kapur yang besar tengah menyala apinya. Percikan apinya berhamburan. Bara apinya berkobar-kobar. Letupan nyalanya terdengar. Tampak beberapa batu siap dibakar menjadi kapur.

Ketika Rabi’ melihat kobaran api, ia berhenti sejenak. Ia gemetar seakan tersambar halilintar. Kemudian ia membaca ayat Al-Quran, yang artinya:

“Apabila ia (neraka) melihat neraka dari tempat yang jauh, mereka mendengar suaranya yang gemuruh karena marahnya. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka dengan dibelenggu, mereka di sana berteriak mengharapkan kebinasaan,” (QS. Al-Furqan: 12—13).

Kemudian ia pingsan. Saya (Mundzir) dan Abdullah bin Mas’ud merawatnya hingga sadar. Lalu mengantarkannya pulang.”

Rabi’ tinggal di Kufah. Ia adalah generasi tabiin yang wara’ dan khusyuk. Ia amat berhati-hati menghadapi dosa-dosa kecil dan nyaris tidak pernah melakukannya. Ketika mencapai usia senja, ia terserang penyakit lumpuh. Sejak saat itu ia mengurung diri di rumah untuk makin mendekatkan diri kepada Allah Swt.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here