Literasi dan Kearifan Beda Lebaran

359
Sejumlah warga melaksanakan salat Idulfitri 1442 H di Masjid Putih Hidayaturrahman, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (13/05/2021). Pelaksanaan salat Idulfitri menerapkan protokol kesehatan yang ketat. (Foto: M. Akbar H/ Muslim Obsession)

Oleh: Dr. Jazuli (Komisi Fatwa MUI – Kota Bogor)

Perbedaan penetapan tanggal 1 Syawal berpotensi kembali terulang pada lebaran tahun ini. Seperti terjadi pada lebaran tahun 2019, perbedaan penetapan hari raya Idul Fitri merupakan hal yang lumrah bagi umat Islam Indonesia.

Satu sama lain di antara mereka terbangun rasa saling menghargai dan menghormati perbedaan. Gemuruh suara takbir dan suasana suka cita kelompok yang lebih dulu merayakan lebaran tidak mempengaruhi keikhlasan ber-tarawikh dan berpuasa kelompok yang menggenapkan penanggalan bulan Ramadan.

Di kalangan umat Islam seolah-olah tidak ada lagi yang perlu dipolemikkan dari konsekuensi hukum yang timbul akibat perbedaan hari Idul Fitri: Apakah tetap sah atau tidak sah berpuasa Ramadan ketika dalam satu wilayah telah diumumkan 1 Syawal? Kalau di zaman dulu masalah semacam itu dapat memancing perdebatan sesama muslim, akan tetapi di jaman sekarang sudah tidak dianggap lagi sebagai masalah serius.

BACA JUGA: Pilih Paket Tarawih atau Paket Qiyamu Ramadhan?

Kearifan menyikapi perbedaan lebaran yang tumbuh di kalangan umat Islam menjadi bukti begitu besar manfaatnya sadar literasi. Sejak Muhammadiyah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada hari Jumat, 21 April 2023 berdasarkan perhitungan posisi geometris benda-benda langit (ijtima): matahari, bumi, dan rembulan, rupanya masyarakat mulai mencari-cari informasi pengkalenderan Islam. Biasanya dalam kalender-kalender yang diterbitkan Ormas-ormas Islam tercantum data hasil penghitungan bulan baru dan informasi waktu solat per-wilayah se-Indonesia.

Akses secara terbuka terhadap penanggalan kalender Islam itulah menjadi modal membangun kesadaran literasi bagi masyarakat sehingga tumbuh kearifan menyikapi perbedaan. Selain itu, peran ilmuan dan tokoh masyarakat dengan cara menyebarluaskan informasi tentang perbedaan metode penetapan bulan baru kalender Hijriyah juga sangat bermanfaat bagi masyarakat luas.

Sebagaimana dimaklumi bahwa di kalangan ulama-ulama Ormas Islam masih terjadi perbedaan metode pengolahan data antara hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani Majelis Tarjih dan Tajdid, dengan data hasil imkanur-rukyah yang dipakai NU, Persis, dan pemerintah.

Ketika masyarakat mengetahui latar belakang dan pendekatan yang digunakan dalam penentuan 1 Syawal 1444 Hijriyah maka tidak ada lagi perdebatan di kalangan mereka. Apalagi dalam ajaran agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia terdapat prinsip “ikhtilafu ummati rahmat” (perbedaan di kalangan umat merupakan rahmat).

Di samping itu masyarakat juga mendapatkan angin segar perubahan cuti bersama Idul Fitri 1444 Hijriyah/2023 Masehi yang awalnya empat hari pada 21, 24, 25, dan 26 April 2023 diubah dan ditambah satu hari menjadi 19, 20, 21, 24, dan 25 April 2023. Keputusan pemerintah melalui 3 menterinya Presiden Jokowi itu pada dasarnya juga turut mengkondisikan bina kearifan menghargai perbedaan penanggalan hari raya Idul Fitri tahun ini.

BACA JUGA: Filosofi Gembira dalam Tradisi “Munggahan” Jelang Ramadhan

Literasi Penanggalan

Penanggalan kalender Islam pada dasarnya berpatokan pada wujudul hilal yang menandai awal orbitnya bulan sabit di awal bulan. Secara otomatis penanggalan kalender Islam mengacu pada batas wilayah sebagai satu wilayah hukum (wilayatul hukmi) sesuai batas wilayah kedaulatan negara. Hal ini sesuai pendapat Syekh Abd al-Razzaq al-Mahdi (Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarkh al-Minhaj II: 239) yang mendefinisikan kata “mawaqit” dalam QS. Al-Baqarah: 189 sebagai batas waktu sekaligus batas wilayah.

Dengan pendekatan ini umat Islam sejatinya telah diperkenalkan konsep kedaulatan dalam konsep penanggalan. Termasuk kedaulatan penanggalan hari Idul Fitri yang berimplikasi pada perbedaan lebaran antara satu wilayah negara dengan negara lainnya. Kedaulatan tidak perlu dibenturkan dengan universalisme ajaran Islam. Justru kurang tepat kita berlebaran semata-mata ikut umat Islam di belahan dunia lain, misalnya di Mekkah-Madinah, yang telah memutuskan jatuhnya 1 Syawal.

Penanggalan 1 Syawal 1444 Hijriyah yang dilakukan Ormas Muhammadiyah, sebagai contoh, bukanlah mengikuti pemerintah Saudi Arabia yang lebih awal dari pemerintah Indonesia. Kriteria wujudul hilal dalam metode hisab yang dipakai Muhammadiyah pada dasarnya juga berpijak pada konsep kedaulatan penanggalan kalender Islam di Indonesia.

Bahkan bukan hanya konsep kedaulatan yang digunakan Muhammadiyah juga mempertimbangkan konsensus (ijma’) terbatas para ahli falak. Perbedaan penanggalan 1 Syawal antara Muhammadiyah dengan Ormas Islam lainnya dan termasuk pemerintah semata-mata dikarenakan postulat hukum (akhzdu bil aqal) sebagai rujukan konsensus mereka berbeda satu dengan lainnya.

BACA JUGA: Puasa, Media Promosi Menuju Posisi Malaikat Simbolik

Muhammadiyah sejak awal tidak sejalur dengan penggunaan postulat hukum secara ijmai yang disepakati forum MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Dalam hal ini MABIMS menyepakati batas minimal ketinggian hilal sebagai penentu awal dan akhir bulan puasa pada khususnya dengan metode imkanur-rukyah. Sedangkan Muhammadiyah menggunakan kriteria hakikat wujudul hilal berdasarkan posisi geometris benda langit: matahari, bumi dan rembulan.

Terkecuali Muhammadiyah, pada tahun 1990 forum MABIMS menyepakati untuk menyudahi perbedaan yang sering terjadi dalam penentuan awal bulan Qamariyah/Hijriyah. MABIMS menggunakan postulat hukum (akhdz bi al-aqal) untuk memformulasikan kriteria imkan rukyat, yaitu: (1) ketinggian minimum 2 derajat, (2) jarak bulan-matahari minimum 3 derajat, dan (3) umur hilal minimum 8 jam.

Kesepakatan farum MABIMS menetapkan ketinggian minimal 2 derajat ini tentu saja menarik untuk dicermati. Sebab posisi hilal dalam ketinggian 2 derajat terlalu tipis untuk dapat dilihat dan diamati mata telanjang. Walaupun begitu pihak yang semula bersikukuh menggunakan metode rukyah dapat menerima keputusan itu, padahal jika diasumsikan wujudul hilal ketinggiannya adalah 4-7 derajat. Penerimaan ini tak dapat dilepaskan dari pemahaman mereka tentang konsensus dan kedaulatan penanggalan kalender Islam.

BACA JUGA: Jangan Banyak Menuntut Tuhan

Kearifan Nusantara

Berdasarkan data hisab, pada hari Kamis, 29 Ramadan 1444H/20 April 2023 M, posisi hilal saat matahari terbenam di seluruh wilayah Indonesia berada di atas ufuk dengan ketinggian antara 0° 45′ (0 derajat 45 menit) sampai 2° 21,6′ (2 derajat 21,6 menit) dengan sudut elongasi antara 1° 28,2′ (1 derajat 28,2 menit) sampai dengan 3° 5,4′ (3 derajat 5,4 menit). Data ini sebetulnya sudah bisa menjadi petunjuk terjadinya perbedaan hari raya Idul Fitri, antara kelompok yang menggunakan metode wujudul hilal dan kelompok imkanur-rukyah.

Sekalipun begitu, pemerintah tetap menyelenggarakan sidang Isbat untuk mendengarkan keterangan dan kesaksian para ahli dan tim lapangan yang diterjunkan serta perwakilan Ormas Islam. Sidang Isbat yang digelar bukanlah formalitas belaka, melainkan juga berfungsi untuk mengedukasi masyarakat luas tentang arti penting konsensus dan kedaulatan hukum (menyangkut kepentingan umat Islam) di seluruh wilayah Indonesia.

Sidang Isbat untuk menentukan awal dan akhir Ramadan merupakan salah satu sisi kearifan Nusantara yang patut dijaga dan dipelihara. Sidang yang diadakan pemerintah ini dapat menjembatani perbedaan yang lumrah terjadi pada tiap penentuan awal dan akhir bulan Ramadan. Perbedaan sewajarnya tidak menjadi halangan untuk didialogkan dan dipertemukan.

BACA JUGA: Berproses, Belajar Agama Tak Bisa Instan!

Kita sama-sama sudah berpengalaman bahwa perbedaan di ujung bulan tak selamanya terjadi hingga di pangkal bulan, begitu juga sebaliknya. Pada tahun 2022 awal Ramadan terjadi perbedaan namun berakhir puasa dan merayakan lebaran bersamaan. Pada tahun ini awal puasa berbarengan tetapi berbeda hari lebaran. Diibaratkan ketrampilan membuat tali-temali, perbedaan pangkal dan ujung justru sangat bermanfaat untuk menyambungkan tali-temali dan menguatkan ikatan tali.

Begitupun perbedaan di ujung bulan Ramadan dan di awal bulan Syawal pada tahun ini diharapkan seperti tali-temali. Kita berharap dua hari perayaan Idul Fitri kali ini dapat menyambungkan dan menguatkan tali persaudaraan di antara kita, baik persaudaraan seiman dan sekeyakinan (ukhuwah Islamiyyah) maupun persaudaraan sebangsa dan setanah air (ukhuwah wataniyyah).

Pada akhirnya kita berharap semua berjalan normal dan baik-baik saja sebagaimana kalimat tahniah yang populer di tengah masyarakat merayakan Idul Fitri: “Minal ‘aidin wal faizin. Kullu ‘am wa nahnu bi khair”. Kita juga menyampaikan selamat Idul Fitri bagi yang telah merayakan maupun bagi yang sedang merayakan. Semoga puasa yang telah dikerjakan selama bulan Ramadan dapat menambah kualitas kesalehan pribadi dan kesalehan sosial masyarakat Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here