Filosofi Gembira dalam Tradisi “Munggahan” Jelang Ramadhan

473
Munggahan, tradisi di masyarakat Sunda untuk berkumpul dengan keluarga menyambut Ramadhan dengan suka cita. (Foto: kemlu.go.id)

Oleh: Dr. Jazuli (Pengajar UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

Lepas dari jerat sentimen etnosentrisme, yang jelas, bahwa keberadaan negara kita Indonesia di atas panggung antropologis, boleh jadi termasuk salah satu dari sederet negara yang terkategori pemilik khazanah tradisi terbanyak di dunia.

Ini sesungguhnya adalah dimensi lain dari sebuah realitas, bahwa bangsa kita betapa kreatif dalam menghadirkan, merawat, melestarikan dan sekaligus mempertahankan ragam kearifan lokal. Adapun ihwal orientasi pilihannya pun tentu beragam pula.

Ada yang pure di area tradisi itu sendiri an sich dan ada pula yang menyeberang ke area lain, misalnya mengadopsi semangat doktrinal keagamaan atau kepercayaan. Dan yang terakhir ini, banyak jenis serta coraknya, antara lain-misalnya-di daerah Sunda-Jawa Barat-ditemui tradisi ” Munggahan”.

“Munggahan”, adalah sosok nomina yang lahir dari rahim kata “munggah”. Secara leksikal, artinya adalah “naik”. Andai digiring ke area gramatikal, maka perspektif filosofis, ia dimaknai sebagai simbolisasi dari reflek ekspresi rasa gembira sehubungan dengan tiba sang primadona suci yakni bulan Ramadhan.

BACA JUGA: Puasa, Media Promosi Menuju Posisi Malaikat Simbolik

Berbarengan dengan konteks di atas, juga dikonotasikan pada sebuah ikhtiar untuk “menaikan” prekuensi gelombang semangat spiritual ketika menjalankan ibadah puasa pada bulan tersebut.

Kontekstualitas tradisi “munggahan”, memiliki dua titik singgung yang harmoni, yakni ia hadir murni sebagai kasus tradisi di satu pihak, sedang di pihak lain ia menjelma menjadi makna lain dari wujud “syukuran” -tahadduts bi al-ni’mat-.

Karena diapit oleh dua titik singgung tersebut, maka konsekuensi gelaran acaranya pun kental dengan paduan dua gaya tarik, yakni antara kebudayaan di satu pihak dan nafas keagamaan di pihak lain.

Sebagai kasus kebudayaan, ia-antara lain-diisi dengan tradisi keramasan, bersih-bersih makam keluarga, botraman, bancakan dan lain sebagainya. Sedang sebagai kasus keagamaan-antara lain -disyi’arkan dengan acara doa bersama, bersilaturahim, saling bermaafan, sedekah munggahan, ziarah kubur dan lain sebagainya.

BACA JUGA: Puasa Ramadhan Bagian dari Jalan Mudah Masuk Surga

Semua gelaran acara tersebut di atas, andai dipotret dari lensa semangat doktrin Islām, adalah tidak berlebihan andai dijustifikasi menjadi bagian integral dari makna “kesalihan sosial”. Untuk itu ia laik dirawat dan dilestarikan.

Mengingat, “kesalihan sosial” pada zaman “kiwari” kini menjadi barang langka. Pasalnya ia telah tergerus oleh sikap dan mentalitas individualistis, egosentris serta berpikir pragmatis. Disamping juga karena pengaruh budaya luar yang nyaris menyusup ke segala tataran sosiologis-antropologis dari realitas perikehidupan kita.

Kembali ke jatidiri tradisi “munggahan”. Sekali lagi, ia muncul terbangun atas dasar refleksi serta ekspresi rasa gembira, bahagia dan tentunya juga sekaligus bangga atas hadirnya bulan suci Ramadhan yang sarat dengan nilai keistimewaan.

Rasa gembira, bahagia dan sekaligus bangga tersebut, bisa tersulap menjadi spesial adanya andai disinggung dengan teks di bawah ini. “Dikatakan” dalam sebuah hadits:

من فرح بدخول رمضان حرم الله جسده على النيران

“Barang siapa yang merasa gembira atas masuk-tiba-bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka”.

BACA JUGA: Keistimewaan Bulan Ramadhan

Hadits tersebut termuat dalam buku “Dzurratu al-Nashihin” buah karya Utsman Ibn Hasan ibn Ahmad al-Syakir al-Khubawi (wafat tahun 1241 H atau bertepatan dengan 1824 M). Versi para pakar ilmu hadits, hadits tersebut tingkat validitasnya “dha’if” atau lemah, bahkan ada yang sampai memvonis “maudhu’” atau hoaks.

Namun kenapa saya menjadikan hadits di atas sebagai landasan pemikiran? Paling tidak ada dua alasan. Pertama, saya tidak memotret hadits tersebut dari kaca mata “riwayat dan “dirayat “. Tapi dari aspek semangat tekstual-matannya saja.

Kedua, sama sekali saya tidak menisbahkan runtun sanadnya langsung dari Rasul Saw. Saya menggunakan “shaighat tamridh” (kalimat pasif), yakni dengan redaksi “dikatakan”-قيل, tidak menggunakan “shaighat jazm” (kalimat aktif) dengan redaksi “Rasul Saw. bersabda”-قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. Dengan demikian, terhindar dari manipulatif.

Soal “gembira atau “duka”, itu adalah peristiwa psikologis yang tidak bisa dilacak oleh mata telanjang. Hanya saja, Allah Maha Mengetahui apa yang digetarkan oleh hati seseorang (QS. Al-Fathir: 16, QS. Al-Mulk: 13).

Dalam konteks tradisi “Munggahan”, andai seseorang merasa gembira, bahkan bangga dengan kehadiran bulan suci Ramadhan dan hal itu juga benar-benar orbit dari hati nuraninya yang tulus, saya yakin Allah pasti mengetahui serta mencatatnya.

Berangkat atas dasar fakta di atas dari satu sisi dan berargumen, bahwa Allah pemilik keadilan dari sisi lain, apakah bisa diterima oleh logika andai Allah mengharamkan dia masuk Neraka? Jawabannya, ada di benak dan kalkulasi logika masing-masing.

Namun yang jelas, “gembira imani” dalam konteks menyambut bulan suci Ramadhan, secara filosofis bisa menjadi pertimbangan Allah untuk menjatuhkan skala prioritas pahalanya. Adapun juntrungannya, itu mutlak privasi diri-Nya : الصوم لى وأنا اجزى به .

 والله أعلم بالصواب

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here