Puasa, Media Promosi Menuju Posisi Malaikat Simbolik

344
Ilustrasi: Suasana buka puasa di Masjid Nabawi.

Oleh: Dr. Jazuli ( Komisi Fatwa MUI – Kota Bogor)

Sejak masih tercecer di ruang arwah, sebenarnya manusia telah menekan “nota kesepahaman” (Memorandum of Understanding) dengan Allah yang dituangkan dalam bentuk ikrar permanen, bahwa Dia adalah Tuhannya, (QS. Al-A’raf: 127).

Selanjutnya, ketika diorbitkan untuk mengenal dunia dengan seabreg problematika, berikut risiko serta konsekuensinya, pun masih mendapat garansi dari-Nya, bahwa ia masih tersegel dalam status fitrah-suci (yuuladu ‘ala al-fithrah). Peristiwa pertama, sebagai “fitrah ilahiyyah”, sementara peristiwa kedua sebagai “fitrah insaniyyah”.

Kendati sudah dibackup oleh dua fitrah tersebut-fitrah ilahiyyah dan fitrah insaniyyah- ditambah kini telah menyandang titel “mukallaf” (terpanggil oleh titah hokum), namun realitanya, dasar manusia, ia tetap kukuh dan “keukeuh” memilih enjoy dengan selimut kedunguannya-malas menerima kebenaran.

BACA JUGA: Puasa dan Tumbuhnya Sikap Empati

Sebagai bentuk ikhtiar untuk menyadarkan dirinya, agar bisa kembali ke habitat fitrahnya, maka Allah menggagas konsep ” Puasa Wajib” -mandatory fasting- di bulan Ramadhan.

Dipotret dari sisi karakternya, puasa adalah dimensi lain yang berperan sebagai media untuk menggapai puncak prestasi spiritual yang sangat istimewa, hingga eksistensinya pun dirahasiakan. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Allah, sebagaimana terlontar dalam hadits Qudsi, “al-Shaumi Li Waana Ujzii Bihi “, (“Puasa adalah urusan privasi-Ku. Hanya Aku-lah yang berhak menilainya”).

Atas dasar fakta di atas, maka tidaklah axcessive -berlebihan- andai mantan rektor Universitas Al-Azhar, Mesir-al-Maghfurraph-Mahmud Syaltut (1958-1963), menyatakan, bahwa “al-Shaa’im Malaakun Fii Shuurati Insaanin” (orang yang tengah menjalankan puasa, adalah “malaikat dalam bentuk manusia”).

Dimana letak subtansi titik singgungnya, hinga orang yang berpuasa ditasybihkan-diumpamakan- sebagai “malaikat dalam bentuk manusia? Letak subtansi titik singgungnya, orang yang berpuasa- telah sukses memungut dan mengadopsi elemen-elemen serpihan anasir karakteristik Malaikat.

Betapa tidak, orang yang berpuasa telah menekan kontrak spritual yang wajib dilakoni full selama satu bulan, dengan konsekuensi dan komitmen imani : siap, serta sanggup melucuti baju mentalitas konsumtif- khususnya makan dan minum di siang hari dan gairah libidinal-khususnya berhubungan suami-istri-di siang hari.

Dan dalam waktu bersamaan, dengan penuh kesabaran dan ketawakalan, ia pun berusaha keras-mujahadah- menghindar dari benturan “nafsu al-lawamah” yang bisa melikuidasi keabsahan serta menodai sakralitas nilai puasa. Hal itu dilakukan lebih kurang selama 13 jam, sejak operasi fajar shidiq-min thulu’i al-fajr-hingga matahari menyatakan pensiun sementara-ilaa ghuurub al-syams.

Demikian hebat dimensi spiritual puasa, hingga seorang non muslim sekalipun, model Philip Paracelsus (1493-1541 ), dokter berkebangsaan Swiss, pendiri-bapak-“Toksikologi” (ilmu yang secara spesial bicara soal efek toksit-bahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia atau zat, baik pada manusi, hewan, maupun lingkungan) menyatakan, “Fasting is the greatest remedy the physician within” (puasa adalah penyembuh-dokter dalam-yang paling hebat).

Senada dengannya-Philip Paracelsus-, Yuri Nikoyalev (1905-1998), seorang dokter psikiater kawakan berkebangsaan Rusia menyatakan, “What do you think is the most important discovery in our time, the radioactive watches, exocet bombs? In my opinion the bigest discovery of our time is the ability to make onself younger physically, mentally and spiritually through rational fasting?” (Menurut pendapat Anda, penemuan apa yang dianggap terbesar pada abad sekarang, radio aktif, atau bom excoset?” Menurut pendapat saya, penemuan yang terbesar pada abad ini yang bisa membuat diri lebih muda, baik secara fisik, mental, maupun spiritual adalah melalalui puasa yang rasional)”.

Kendati dia-Yuri Nikoyalev-tidak menjelaskan, “Apa itu puasa rasional-rational fasting”, namun saya berani memastikan, bahwa yang paling tepat untuk disebut “rational fasting”, apalagi kalau bukan puasa wajib di bulan Ramadhan, karena ia didesain oleh sang Maha Teliti-Allah SWT. Ia tidak mungkin kontradiktif dengan akal sehat, baik secara teoritis, maupun empiris .

Apa yang dideskripsikan di atas, hanya sebatas perspektif flosofis dan temuan ilmiah-scientific approach-semata yang sifatnya asumtif, bukan sebuah axiomatic. Namun demikian, ia menjadi bagian integral dari “decisive witness” -kesaksiaan yang menentukan- atas pembenaran rasionalitas puasa.

Adapun subtansi inti tujunya, semata murni melaksanakan titah Allah atas dasar kesadaran iman. Rasulullah saw., menyatakan, “Man Shaama Ramadhaana Iimanan Wahtisaaban Ghufira Lahu Ma Taqaddma Min Dzanbihi”, (Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, atas dasar iman dan “ihtisab”- karena Allah, maka dosanya di masa yang lalu diampuni, (Hadits Riwayat al-Bukhari, dari Abi Hurairah).

Yang terbebas serta terlepas dari noda dan dosa, tidak lain hanyalah Malaikat. Maka kehadiran puasa bulan Ramadhan secara filosofis adalah media promosi menuju raihan gelar “malaikat simbolik” sebagaimana dinyatakan Mahmud Syaltut di atas.

Dan hal ini mendapat apresiasi dari Allah sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, “Sungguh orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah sebagai Tuhannya, kemudian mereka konsisten menjalankan perintah-Nya, “maka turun kepada mereka Malaikat”, seraya berkata, “janganlah takut dan bersedih, bergembiralah dengan Surga yang telah dijanjikan untuk kamu”, (QS. Fushshilat: 30).

Pamungkas, mudah-mudahan kita menjadi pribadi “muttaqin” yang unggul, (QS. Al-Baqarah: 138). Aminnn… Semoga!!!

 جعلنا الله وإياكم من زمرة المتقين

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here