Pilih Paket Tarawih atau Paket Qiyamu Ramadhan?

190
Ilustrasi: Shalat Tarawih.(Foto: antara)

Oleh: Dr. Jazuli (Pengajar UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

Dari sekian titik beda yang melambungkan kharismatika marwah puasa ke anak tangga paling hit di belantika musik syar’iat, adanya album “shalat sunat malam” yang digelar pasca ritual shalat Isya’.

Produser yang melempar album tersebut ke pasar dunia taa’buddi di bulan Ramadhan yang sarat muatan sakralitas ini, adalah Rasul ﷺ – dan sudah pasti atas rekomendasi wahyu yang ditekan atasannya- Allah SWT.

Adapun sabda beliau ﷺ yang dijadikan perisai aksiomatik universal dengan tayangnya album shalat malam tersebut, nada lengkapnya berbunyi:

 عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «من قام رمضان إيمانا واحتسابا، غفر له ما تقدم من ذنبه, رواه البخارى

“Dari Abi Hurairah-RA-, sungguh Rasulullah ﷺ bersabda, ” Barang siapa yang berdiri di bulan Ramadhan dengan dasar iman dan ikhlas, maka dosanya di masa lalu diampuni”, (Hadits Riwayat Al-Bukhari).

BACA JUGA: Filosofi Gembira dalam Tradisi “Munggahan” Jelang Ramadhan

Dengan sematan atribut metaforis berupa juntrung kata “berdiri”-قام, sekaligus mempertegas, bahwa menyemarakkan pasar malam Ramadhan dengan berbagai orkestra dzikir dan drama amaliah ibadah adalah sebuah kepatutan yang mesti didirikan.

Namun spesifikasi makna dari idiomatik berdiri-قام- lebih menjurus ke ritme gerak dan manifestasi aksi. Untuk itu, orientasi titik sergapnya lebih pas menyasar ke area “shalat”. Sampai di sini pararel dengan firman Allah: إذا قمتم إلى الصلاة (QS. An-Nisa: 43) -jika Anda hendak mendirikan shalat.

Shalat yang dimaksud, tentu shalat suplemen-penopang gizi pahala-yakni Shalat Sunat. Apa shalat “Taraweh”? Frankly, saya kurang greget menyokong terminologi tersebut (shalat tarawih).

Tameng apologetiknya, mengingat idiomatik shalat taraweh baru kelar sekitar 2 (dua) tahun pasca Rasul ﷺ wafat (632 M.) yakni pada masa Khalifah Umar (634-644 M.). Atas dasar fakta dialektis ini, tidak bisa dipatahkan oleh logika, bahwa beliau ﷺ tidak pernah mendirikan “Shalat Tarawih”. Yang benar belaiu pernah melaksanakan “shalat malam” di bulan Ramadhan secara berjamaah dengan masyarakat (para sahabat-khususnya) di masjid.

BACA JUGA: Puasa, Media Promosi Menuju Posisi Malaikat Simbolik

Namun itu pun konon hanya selama tiga malam. Setelah itu, beliau menyatakan berhenti dan memilih melaksanakannya di rumah secara individual-munfarid. Adapun dasar argumen yang dipegang, karena beliau merasa khawatir andai Allah menjatuhkan vonis wajib, sehingga hal ini bisa berdampak memberatkan mereka-jamaah (Hadits Riwayat Al-Bukhari).

 فانه لم يخف على مكانكم لكني خشيت أن تفرض عليكم فتعجزوا عنها

Kendati beliau memilih shalat sendiri di rumah, namun beliau tidak menganjurkan hal serupa kepada jamaah. Oleh karena itu, mereka tetap melakukan shalat sunat tersebut, ada yang di masjid dan ada pula yang di rumah masing-masing (tanpa diberjamaahkan). Kondisi seperti ini, berlangsung hingga akhir pemerintahan khalifah Abu Bakar.

Memasuki rezim Khalifah Umar, paradigma pemikiran keagamaan mulai masuk ke ranah reaktualisasi. Datanya dibuktikan lewat kasus empirik. Syahdan pada satu kesempatan Umar bersama kolega dekatnya Abd al-Rahman Ibn Abd al-Qari’ pada malam bulan Ramadhan melakukan operasi mendadak (sidak) ke sebuah masjid.

Umar melihat jamaah di masjid tersebut tengah melaksanakan shalat sunat dalam posisi tidak teratur. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada pulau yang berjamaah per-club-dengan imam yang berbeda. Lantas dia (Umar) berpikir, andai disatukan dibawah kendali seorang imam, niscaya pasti tertib.

BACA JUGA: Jangan Banyak Menuntut Tuhan

Akhirnya dia (Umar) menunjuk Ubay Ibn Ka’ab untuk bertindak sebagai imam. Malam ke-dua mereka (Umar dan Abd al-Rahman Ibn Abd al-Qari), melakukan sidak yang sama ke masjid tersebut. Ternyata kali ini mereka tengah melaksanakan shalat sunat dengan tertib dan teratur.

Saking betapa Umar merasa gembira, sekaligus bangga, hingga berucap,” sebaik-baik bid’ah, adalah shalat seperti ini-نعم البدعة هذه “, (Hadits Riwayat al-Bukhari , dari Abd al-Rahman Ibn Abd al-Qari’). Yang dimaksud, bukan ” Bid’ah Syar’iyyah”, tapi “Bid’ah Lughawiyyah’-bid’ah leksikal-sama sekali tidak berdampak konsekuensi yuridis.

Konon, setiap selesai empat rakaat, mereka rehat. Namun tidak terlena, malah ngotot waktu jeda tersebut mereka manfaatkan untuk bertawaf. Atas dasar ada rehat tersebut, maka disebutlah “Shalat Tarawih “.

Tegasnya, “Tarawih “, adalah shalat sunat di malam bulan Ramadhan dimana ciri khasnya ada “rehat “. Dalam konteks kekinian, biasanya setiap selesai dua rakaat selalu diselang dengan membaca “shalawat” atau bacaan lainnya. Itupun sekedar aplikasi Istihsan, bukan Sunnah. Malah hal terakhir ini dikomentari oleh Ibnu Hajar al-Haitami dari kubu madzhab Syafi’i juga:

بأنّ الذِّكر في الاستراحة بين ركعات صلاة التراويح بِدْعةٌ لا أصل لها في السنّة النبويّة، أو فِعل السَّلف الصالح

Sekali lagi, andai pun titik tekan pesan dan kesan “Qiyamu Ramadhan” menukik ke spesifikasi “shalat sunat”, namun lagi- lagi Rasul ﷺ tidak mengidentifikasi shalat sunat tersebut : apa nama dan berapa jumlah bilangan raka’atnya.

Konon atas prakarsa ijtihad Umar, kuartet mujtahid ( Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) menyebutnya “Shalat Tarawih ” dengan jumlah bilangan 20 raka’at, plus 3 witir. Apapun wujudnya, itu sebatas pilihan keputusan atas dasar ijtihad, tidak menjadi harga mati. Kita masih berada pada area “khiar majlis “, yang sah untuk menjatuhkan alternatif pilihan.

Andaipun merasa terusik kabut kebingungan, di mana sesungguhnya letak menentukan pilihan yang paling ideal dan moderat? Simak dan ikuti pernyataan isteri Rasul ﷺ-‘Aisyah-Radiyallahu ‘Anha- berikut ini :

ما خير رسول الله صلى الله عليه وسلم بين أمرين قط إلا أخذ أيسرهما ما لم يكن إثما، فإن كان إثما كان أبعد الناس منه…(رواه البخارى)

“Tidaklah Rasulullah ﷺ andai dihadapkan kepada dua pilihan, beliau selalu memilih yang termudah, sepanjang itu tidak mengundang konsekuensi dosa. Andai mengandung konsekensi dosa, belaiu adalah orang yang paling menjauh dari dosa”, (Hadits Riwayat al-Bukhari).

Konkritnya, baik paket “Tarawih’, yang spesial dengan harga patok 20 raka’at, plus 3 raka’at witir, maupun “Qiyamu Ramadhan” yang universal, dengan pilihan 11 raka’at. Itu adalah wujud dari bentuk sajian pilihan yang tidak merugikan, keduanya sama-sama menawarkan pahala kebaikan.

Sekarang, tinggal menentukan pilihan, sesuaian dengan kecenderungan pilihan dan apresiatif masing-masing-tentunya jangan abai akan etika disiplin akademis-mau paket yang mana? Patokan dan asumsi dasarnya, sudah terkemas dalam pilihan sikap Rasul ﷺ sebagaimana dinyatakan oleh ‘Aisyah di atas.

Seperti kata Gus Dur, “gitu aja repot”, kita berada pada wilayah mimbar bebas akademis, terlebih dipantau “kamera moderasi beragama”, kenapa mesti ribet dan ribut?

 نحن بِما عِندِنا وَأَنتَ بِما عِندَكَ راضٍ وَالرَأيُ مُختَلِفُ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here