Para Rasul Dalam Peradaban (Seri ke-170)

IX. Nabi Muhammad.

534
Banyak berhala suku-suku Arabiya di sekeliling Ka’bah pada masa sebelum Nabi Muhammad menghancurkannya. (Sumber: Kompasbelajar.com foto dari sebuah film)

Oleh: Agus Mualif Rohadi (Pemerhati Sejarah)

Adanya nubuwah tentang datangnya rasul terakhir dari para rasul dan nabi sebelum kedatangan Nabi Muhammad adalah merupakan perjanjian antara Allah dengan para Nabi dan rasulnya sebagaimana yang di terangkan dalam QS. Ali Imran 81:

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi – Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah kepadamu lalu seorang rasul datang kepada kamu seraya membenarkan apa yang ada pada kamu, niscaya kamu akan sungguh sungguh beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman – Apakah kamu setuju dan menerima perjanjian denganKu atas yang demikian itu -. Mereka menjawab – Kami setuju -. Allah berfirman – Kalau begitu bersaksilah kamu (para Nabi) dan Aku menjadi saksi bersama kamu –“.

b). Ditemukannya Zamzam setelah ratusan tahun hilang tertimbun.

Di luar hiruk pikuk kota-kota besar di dunia saat itu, di hamparan bukit, gunung berbatu dan padang pasir ganas rangkaian gurun paran di sebuah kota kecil di pusat pedalaman Jazeerah Arabiya, yang kotanya sama sekali tidak menarik minat para penguasa imperium dunia karena tidak ada sesuatu yang menarik untuk diperebutkan dan dikuasai, yaitu kota Bakkah atau Makkah, terjadi salah satu peristiwa penting namun tentu tidak dipahami oleh manusia saat itu.

BACA JUGA: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri-169)

Kepala suku dari suku-suku kota tersebut adalah kepala suku Qurays yaitu Abdul Muthalib. Kehidupan religius pagan suku-suku di seluruh jazeerah Arabiya yang sangat luas, berpusat pada Ka’bah di Makkah, yang di sekeliling Ka’bah banyak berhala bertebaran.

Sepertinya ada kesadaran dari Abdul Muthalib bahwa banyaknya ilah di Ka’bah sebagai suatu bukti adanya kesalahan informasi yang telah berlangsung lama atas ajaran religius leluhurnya. Semua orang arab mengetahui bahwa mereka keturunan Ismael bin Ibrahim.

Sangat mungkin Abdul Muthalib berpikir bahwa tidak mungkin jika Ibrahim dan Ismael sejak awal memberikan pengajaran kepada anak cucunya bahwa banyak ilah yang dapat disembah. Pasti hanya Allah yang dikenal Ibrahim dan Ismael sebagai satu satunya tuhan yang harus disembah, karena Allah adalah realitas tuhan yang tertinggi bagi orang-orang Arab.

Abdul Muthalib pasti berpikir bahwa satu satunya tuhan yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismael kepada anak cucunya adalah Allah. Namun tidak ada risalahtertulis yang dapat menjadi rujukan bagi Abdul Muthalib untuk memperbaiki kehidupan religius suku-suku arab. Perkataannya pasti tidak akan di terima oleh suku-suku Arabiya. Hal itu membuatnya sering berlama lama merenung di Ka’bah sehingga sering terlihat Abdul Muthalib sampai tertidur di Ka’bah.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-168)

Dalam suatu tidurnya di halaman Ka’bah, suatu saat Abdul Muthalib bermimpi didatangi oleh suatu bayangan yang berkata kepadanya: “Galilah sumber air yang manis (Thaibah)”. Tetapi sebelum sempat dirinya bertanya, bayangan tersebut menghilang. Ketika terbangun, mimpi tersebut membuatnya tidak bisa tidur lagi.

Hari berikutnya, Abdul Muthalib bermimpi lagi didatangi oleh bayangan yang sama, dan kembali berkata kepadanya “ Galilah keberuntungan (barrah)”. Bayangan itu dengan cepat kemudian menghilang sebelum dirinya sempat bertanya. Mimpi itu membuatnya semakin bingung.

Pada hari berikutnya, Abdul Muthalib bermimpi lagi didatangi bayangan yang sama yang berkata kepadanya, “Galilah timbunan harta (madhnunah)”. Bayangan itu kemudian dengan cepat menghilang. Mimpi yang membuatnya semakin bertambah bingung bila mengingat mimpi sebelumnya.

Dari perenungannya atas mimpinya itu, Abdul Muthalib sampai pada suatu kesimpulan bahwa dirinya harus menyembelih hewan kurban, agar dirinya mendapatkan petunjuk yang semakin jelas dalam mimpinya tersebut.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-167)

Kemudian Abdul Muthalib menyembelih hewan kurban dalam jumlah cukup banyak, yang hal itu membuat kaum Qurays bingung dengan tujuan Abdul Muthalib yang tidak bisa diungkapkannya pada kaumnya.

Setelah penyembelihan kurban tersebut, Abdul Muthalib bermimpi didatangi bayangan yang sama dan berkata kepadanya, “Galilah Zamzam”. Abdul Muthalib kemudian berkesempatan bertanya “ apakah Zamzam itu?”. Bayangan dalam mimpinya itu kemudian menjawab, yang jawabannya terpatri dalam ingatan Abdul Muthalib.

Ajaklah orang – orang kepada air pelepas dahaga.
Yang tidak keruh.
Ia berikan air minum orang orang yang berhaji.
Dalam setiap tempat.
Yang di dalamnya ada ketaatan.
Tak perlulah kau risaukan untuk kehabisan.
Galilah Zamzam.
Karena jika engkau menggalinya
Kau tidak akan pernah menyesal
Karena Zamzam tersebut adalah peninggalan ayahmu teragung.
Airnya tidak akan habis selama lamanya.
Melimpah, dan memberi minum kepada jama’ah haji yang mulia.
Zamzam itu laksana burung unta yang kencang larinya dan belum dibagi.
Di dalamnya, orang bernadzar buat Dzat pemberi nikmat.
Yang menjadi warisan dan perjanjian yang kokoh kuat.
Dia tidaklah seperti apa yang engkau telah ketahui sebelum ini.
Zam – zam berada di antara kotoran dan darah,
Di dekat rumah semut dimana di sana ada burung gagak
Mematuk matuk dengan paruhnya,
Besok

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-166)

Setelah itu, bayangan tersebut menghilang dan Abdul Muthalib menjadi terbangun merasa lega karena telah memperoleh jawaban atas kebingungannya. Dirinya berharap besok akan mendapat petunjuk tentang tempat yang harus digalinya sebagai tempat keberadaan air Zamzam yang melimpah yang tidak akan habis untuk dibagi bagikan kepada jama’ah haji.

Bayangan tersebut pasti malaikat yang tentu tidak dikenal Abdul Muthalib. Dan malaikat hanya akan mendekat karena Abdul Muthalib hanya mentuhankan Allah, tidak mentuhankan berhala lainnya.

Esok harinya, seperti biasanya, setelah melakukan thawaf dan menjalankan ibadahnya, Abdul Muthalib kemudian duduk beristirahat. Tiba tiba dilihatnya beberapa burung gagak berkerumun di dekat bongkahan batu yang biasanya digunakan untuk tempat penyembelihan kurban.

Setelah itu, didekatinya tempat tersebut, di lihatnya terdapatkotoran, pasir dan sarang semut. Tempat tersebut memang sering basah karena darah hewan kurban.

Tanpa membuwang waktu, Abdul Muthalib kemudian pulang, dan diceritakan mimpinya tersebut kepada istrinya yaitu Samra dan anaknya yaitu Harits. Lalu diajaknya anaknya untuk menggali di tempat yang ditunjukkan dalam mimpinya sebagai tempat air zam – zam.

Tentu saja perbuatan Abdul Muthalib dan anaknya tersebut menuai protes darikaumnya yang melihatnya, namun tidak dihiraukannya, dan dirinya dan anaknya terus menggali. Tidak lama kemudian, Abdul muthalib menemukan harta karun berupa dua patung rusa emas, baju perang, sepasang pedang emas dan banyak harta lainnya yang tertimbun pasir.

BERSAMBUNG

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here