Ikhlas

483

Oleh: Dea Guru H. Ahmad Nahid, M.Pd (Wakil Pengasuh dan Direktur Pendidikan dan Pengajaran Pesantren Modern Internasional Dea Malela Sumbawa Indonesia)

Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.

Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata: “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.

BACA JUGA: Ihsan

Al Harawi mengatakan: “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata: “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”.

Abu ‘Utsman berkata: “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.

Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata: “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”.

BACA JUGA: Wakaf (Bagian 1)

Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.

Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat.

Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.

BACA JUGA: Wakaf (Bagian 2)

وحقيقة الإخلاص صدقٌ في النيَّة والقول والعمل، فيما يتعلق بحقوق الله تعالى، وفيما يتعلق بحقوق المخلوقين

“Ikhlas yang sebenarnya adalah ketika niat yang tulus sejalan dengan ucapan dan perbuatan, baik amal yang kaitannya dengan relasi horizontal (hablum minallah) maupun vertikal (hablum minannas).”

الخالص من الأعمال ما لم يعلم به ملك فيكتبه، ولا عدو فيفسده، ولا النفس فتعجب به

Artinya, “Amal yang tulus adalah amal yang dilakukan (dengan benar) tanpa pernah berpikir sedikit pun tentang catatan baiknya, juga tak terbersit akan ada orang lalim yang akan menghalanginya, begitu pun juga orang yang tekjub bangga olehnya.”

BACA JUGA: Zakat (Bagian 1)

2 Puncak Keihlasan

Pertama, mampu mengamalkan ajaran dua kalimat syahadat—yang kita yakini dan sering diucapkan itu—dengan penuh ketulusan.

Kalimat pertama, asyhadu alla ilaha illallah mengajarkan bahwa setiap ketaatan, sembah, dan laku bajik yang kita lakukan—tak hanya kepada sesama manusia, tapi juga seluruh makhluk Tuhan—merupakan bentuk penghambaan yang kita persembahkan hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala.

Adapun kalimat kedua, wa asyhadu anna Muhammad(an) rasulullah mengajarkan, di setiap jejak ketaatan yang kita ukir di persada ini adalah upaya mensyukuri kehadiran Nabi yang telah diutus sebagai rasul pembawa kebenaran dan kedamaian.

BACA JUGA: Zakat (Bagian 2)

Tanpanya, sejarah umat manusia takkan berhasil menapaki jalan kedamaian; anak-anak takkan kenal bakti pada orang tuanya, darah dan nyawa menjadi tak berharga, dan api egoisme akan terus berkobar selamanya. Tanpa Nabi, kita akan hidup dalam gelimang amoral berkepanjangan.

Kedua, menghimpun dan mengoherensi tiga pilar dalam diri manusia-baik dalam statusnya sebagai makhluk sosial maupun individual—yaitu (1) tekad, (2) ucapan, dan (3) perbuatan, agar tidak keluar dari rel ketulusan. Jangan sampai laku dan ucapan seolah murni untuk Tuhan, tetapi hati malah menginginkan ketenaran dan pujian dari para makhluk-Nya.

Wallahu a’lam bish shawab.

Mari istiqamah dalam beribadah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here