Dari Partai Masyumi ke Partai Muslimin Indonesia

2184

Partai Muslimin Minus Tokoh Masyumi

Dalam pada itu sejak Desember 1965, beberapa organisasi sosial dan pendidikan Islam: Muhammadiyah, Jamiatul Washliyah, Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo), Persatuan Islam (Persis), Nahdhatul Wathan, Mathla’ul Anwar, Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII), Kongres Buruh Islam Merdeka (KBIM), Persatuan Ummat Islam (PUI), Al-Ittihadiyah, Persatuan Organisasi Buruh se-Indonesia (Porbisi), Persatuan Guru Agama Islam Republik Indonesia (PGAIRI), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Al-Irsyad Al-Islamiyah, dan Wanita Islam membentuk Badan Koordinasi Amal Muslimin.

Sesudah dipertimbangkan masak-masak oleh seluruh pendukung rehabilitasi Masyumi, surat Jenderal Soeharto kepada Prawoto Mangkusasmito mendorong semua yang hadir dalam rapat Badan Koordinasi pada 6 Mei 1967 untuk menyepakati keputusan membentuk wadah politik baru bagi umat Islam yang belum tersalurkan aspirasi politiknya dalam sesuatu partai politik. Wadah itu akan menampung bekas anggota Masyumi dan organisasi-organisasi kemasyarakatan pendukung Masyumi yang oleh Jenderal Soeharto tegas dijamin hak-hak demokrasinya.

Untuk mendukung keputusan rapat itu, dibentuklah Panitia Persiapan Pembentukan Partai Muslimin Indonesia atau yang dikenal dengan nama Panitia Tujuh karena terdiri dari tujuh orang, yaitu: K.H. Faqih Usman (Ketua), Anwar Harjono (Wakil Ketua), Agus Sudono (Sekretaris), Ny. Sjamsuridjal (Anggota), H. Marzuki Jatim (Anggota), H. Hasan Basri (Anggota), dan E.,Z. Muttaqin (Anggota).

Pada 20 Juni 1967, Panitia Tujuh mengirim surat kepada Pemerintah, menyampaikan hasrat umat Islam untuk membentuk wadah politik baru yang akan diperkenalkan dengan nama Partai Muslimin Indonesia.Pemerintah menyambut baik hasrat itu. Pada 24 Juli 1967 dimulailah pertemuan antara Panitia Tudjuh dengan Staf Pribadi Pejabat Presiden Soeharto yang dikuasakan untuk itu, yaitu Letnan Jenderal Basuki Rachmat, Mayor Jenderal Alamsyah, dan Brigadir Jenderal Soenarso. Setelah beberapa kali pertemuan, dicapai kesepakatan bersama untuk mendirikan Partai Muslimin Indonesia.

Partai Muslimin yang dimaksudkan sebagai rehabilitasi Masyumi secara de facto itu memiliki asas dan tujuan sebagai berikut; Pertama, asas partai ialah Islam. Kedua, tujuan partai ialah bersama-sama dengan semua golongan warga negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menegakkan dan membangun Negara Republik Indonesia atas landasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah.

Sayangnya, sekali lagi, cita-cita luhur itu pun kandas. Pada saat-saat terakhir proses pembentukan Partai Muslimin, terdapatforce majeur (keadaan yang berada di luar kekuasaan) yang menyebabkan Partai Muslimin tidak lagi menjadi karya bersama Panitia Tujuh dengan para pendukung rehabilitasi Masyumi. Itu bermula dari sikap Pejabat Presiden Soeharto yang menolak tampilnya tokoh-tokoh Masyumi dalam kepemimpinan Partai Muslimin. “Mereka itu,” kata Soeharto, “boleh memimpin di belakang layar. Namun untuk masa mendatang, apabila partai memanggil kongres dan pemimpin-pemimpin partai Masyumi terpilih, maka hal ini merupakan masalah intern partai. Pada waktu itu saya tidak akan campur tangan. Akan tetapi sekarang, sayalah orang yang bertanggungjawab.”

Panitia Tujuh dan para pendukung rehabilitasi Masyumi menganggap sikap Soeharto itu sebagai sikap sementara, yakni hanya pada saat kelahiran partai saja. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya reaksi-reaksi yang tidak perlu. Akan tetapi, sesudah nanti Partai Muslimin resmi dan syah hadir di tengah-tengah masyarakat, maka terhadapnya sepenuhnya berlaku hak-hak yang melekat pada sesuatu partai politik dalam negara demokrasi.

Dengan keyakinan seperti itu, tidak mengherankan jika susunan kepemimpinan Partai Muslimin mengalami tiga kali perubahan sebelum akhirnya disyahkan melalui Keputusan Presiden No. 70 Tahun 1968 tertanggal 20 Februari 1968. Perubahan-perubahan itu menunjukkan betapa sejak awal para pendukung Partai Muslimin dari kalangan Masyumi telah menjauhkan sikap konfrontatif dengan Pemerintah. Mereka menaruh prasangka baik bahwa di masa Orde Baru prilaku tidak demokratis dan menyimpang dari konstitusi akan dibuang jauh-jauh. Demikianlah, maka pada susunan kepemimpinan Partai Muslimin yang disyahkan Pemerintah, terlihat jelas betapa Partai Muslimin bersih dari tokoh-tokoh Masyumi.

Dengan Kepres No. 70/1968, Partai Muslimin Indonesia hadir dipimpin oleh duet Ketua Umum H. Djarnawi Hadikusumo dan Sekretaris Jenderal H. Lukman Harun.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here