Dari Partai Masyumi ke Partai Muslimin Indonesia

2183

Rehabilitasi Masyumi: Ikhtiar yang Gagal

Sesudah tumbangnya rezim Sukarno pasca pemberontakan berdarah Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia, lahirlah pemerintahan baru yang menyebut dirinya Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto. Lahirnya Orde Baru membawa janji dan harapan bagi tegaknya kebenaran dan keadilan. Hukum akan menjadi panglima, dan demokrasi akan tumbuh subur.

Bekas Wakil Presiden Mohammad Hatta bersama sejumlah eksponen Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PII) dan alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) seperti Mashud Sosrohardjo, Deliar Noer, Ismail Hasan Metareum, Ibrahim Madylao, Sulastomo, M. Daud Ali, dan Norman Razak merancang pembentukan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Meskipun Rencana Dasar, Program, dan Struktur PDII yang direncanakan akan dipimpin oleh Bung Hatta itu sudah selesai disusun, PDII tidak dapat diwujudkan lantaran Pemerintah tidak memberi lampu hijau.

Sementara itu, sejumlah tokoh Masyumi yang berada di luar penjara menyambut kelahiran Orde Baru dengan melakukan langkah-langkah ke arah rehabilitasi Masyumi. Kebetulan pada 9 Mei 1966 Panglima Daerah Militer Jakarta Raya Brigadir Jenderal Amirmachmud mengundang sejumlah tokoh Masyumi ke rumahnya. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh tiga tokoh Masyumi: K.H. Faqih Usman, Anwar Harjono, dan H. Hasan Basri untuk menyampaikan hal-hal di sekitar rehabilitasi Masyumi.

Melalui surat kepada Brigjen Amirmachmud, ketiga tokoh Masyumi itu pada intinya menegaskan bahwa rehabilitasi Masyumi bukan saja berarti memenuhi rasa keadilan berdasarkan hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar, tetapi juga sekaligus akan dapat meniupkan angin yang segar dalam kehidupan politik kita.

Gagasan merehabilitasi Masyumi ternyata hidup juga di kalangan para pemimpin Masyumi yang baru dibebaskan dari penjara rezim Sukarno seperti Mohammad Natsir, dan Prawoto Mangkusasmito. Lantaran itu, surat Faqih Usman, Anwar Harjono, dan Hasan Basri kepada Amirmachmud dijadikan modal untuk menuntut rehabilitasi Masyumi secara lebih luas kepada Jenderal Soeharto. Secara formal dibentuk Panitia Rehabilitasi Masyumi yang diketuai oleh Drs. Sjarif Usman dengan dukungan berbagai organisasi kemayarakatan Islam yang belum berafiliasi kepada sesuatu partai politik.

Pada 6 Oktober 1966, Ketua Umum Masyumi –saat membubarkan diri—Prawoto Mangkusasmito berkirim surat kepada Ketua Presidium Kabinet, Jenderal Soeharto, guna menjelaskan posisi politik Masyumi. Surat Prawoto itu dilampiri surat Faqih Usman cs kepada Amirmachmud. Korespondensi antara Prawoto dengan Soeharto berlangsung sampai 20 Maret 1967.

Dalam surat-suratnya, Prawoto antara lain mengingatkan khalayak terhadap resolusi Musyawarah Nasional III Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) yang menyatakan bahwa pembubaran Partai Masyumi, Partai SosiaIis Indonesia (PSI), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yuridis-formil tidak syah, dan yuridis-materiil tidak beralasan. Lebih lanjut Prawoto mengingatkan Soeharto: “Adalah suatu ironi yang sangat besar sekali, bahwa Masyumi yang senantiasa mengajak supaya kita bersama berpegang teguh kepada Undang-Undang Dasar 1945, sekarang ini digolongkan kepada yang telah menyelewengkannya.”

Pada 6 Januari 1967, Soeharto menyurati Prawoto. Surat itu pada pokoknya menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak dapat menerima rehabilitasi Partai Masyumi. “Alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI pada satu pendirian bahwa ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas Partai Politik Masyumi.” Adapun mengenai bekas anggota Masyumi sebagai warga negara, Soeharto menegaskan, “… tetap dijamin hak-hak demokrasinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.”

Dengan jawaban Jenderal Soeharto itu, pupuslah sudah harapan dan segala ikhtiar untuk merehabilitasi Partai Masyumi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here