Para Rasul Dalam Peradaban (Seri ke-171)

IX. Nabi Muhammad.

279
Sumur Zamzam sebelum ditutup karena perluasan kompleks Masjidil Haram. (Foto: republika.co.id)

Oleh: Agus Mualif Rohadi (Pemerhati Sejarah)

Namun Abdul Muthalib tidak berhenti menggali, sehingga suatu ketika pasir mulai kelihatan basah, dan tidak lama kemudian memancar air yang cukup deras. Zamzam muncul kembali setelah tertimbun ratusan tahun.

Semua Bani di Makkah akhirnya berkumpul dan bersepakat bahwa harta yang ditemukan menjadi harta Ka’bah, sedang sumur Zamzam pengelolaannya diserahkan kepada Bani Hasyim yang dipimpin Abdul Munthalib untuk keperluan penduduk Makkah dan diberikan kepada jamaah haji.

Abdul Muthalib juga menjadikan pedang yang ditemukannya sebagai hiasan pintu Ka’bah. Suku Qurays dan suku-suku Arabiya tidak mengetahui, bahwa ribu atau ratusan tahun sebelumnya, sumur Zamzam tersebut di gunakan oleh suku Jurhum untuk menimbun hartanya karena suku jurhum di serbu dan dikalahkan oleh Bani Kinanah dan suku Kuza’ah yang bersepakat menyerang suku Jurhum.

Atas kekalahannya itu, kemudian suku Jurhum lari ke Yaman dan tidak kembali lagi ke Makkah, sehingga keberadaan harta dan sumur Zamzam kemudian tidak diketahui oleh suku Arabiya yang berkuasa atas kota Makkah.

BACA JUGA: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri ke-170)

c) Batalnya nadzar Abdul Muthalib menjadikan Abdullah sebagai kurban sembelihan.

Ketika menggali sumur Zamzam, Abdul Muthalib saat itu baru mempunyai satu anak yaitu Harits. Sebagai kepala suku, dirinya merasa direndahkan oleh protes dari penduduk Makkah ketika dia melakukan penggalian tersebut. Salah satu sebab mengapa penduduk Makkah berani protes kepadanya adalah karena dia hanya mempunyai satu anak.

Hal itu ditanggapi oleh Abdul Muthalib sebagai pertanda bahaya bagi kedudukannya sebagai kepala suku. Oleh karena itu dia sering berdoa di Ka’bah agar dapat mendapatkan istri lagi dan memperoleh anak lagi. Abdul Muthalib juga mengucapkan nadzar bahwa jika dia diberikan banyak anak, akan mengurbankan salah satu anaknya untuk Ka’bah.

Doa Abdul Muthalib terkabulkan dan kemudian memperoleh istri lagi dan anak yang cukup banyak baik laki laki maupun perempuan.

Ketika anak-anaknya telah dewasa, Abdul Muthalib teringat nadzarnya. Dia adalah seorang yang selalu menepati janjinya. Lalu dikumpulkan anak-anaknya, dan diceritakanlah riwayat penggalian kembali sumur Zamzam dan diperolehnya pula harta karun yang ditetapkan sebagai harta Ka’bah.

BACA JUGA: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri-169)

Diceritakannya pula ucapan nadzarnya ketika berdoa agar memperoleh istri lagi dan anak yang banyak. Anak-anaknya tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menyetujui rencana bapaknya untuk memenuhi nadzarnya. Mereka dibawa ke Ka’bah, kemudian untuk menentukan siapa anaknya yang akan dijadikan kurban dilaksankan dengan pengundian anak panah.

Ternyata yang keluar untuk menjadi kurban adalah Abdullah anak yang disangat dicintainya. Abdul Muthalib kemudian mengambil pisau besar, digandengnya Abdullah untuk disembelih di halaman Ka’bah. Teriakan istri istrinya tidak dihiraukannya sama sekali.

Namun kemudian kepala Bani Makhzum (keponakan Abdul Muthalib), bersama para istri dan anak-anaknya menghalangi jalannya Abdul Muthalib yang perbuatan itu kemudian di ikuti seluruh keluarga suku Qurays. Mereka keberatan karena, perbuatan menjadikan anak sebagai kurban oleh seorang kepala suku yang sangat dihormati akan dapat ditiru oleh anak cucu mereka.

Selain itu, kaum Qurays justru berpikir dengan ditemukannya kembali harta karun dan air Zamzam tersebut maka kebutuhan air jamaah haji dari suku-suku arab dapat terpenehui. Oleh karena itu mereka merasa tidak sepantasnya Abdul Muthalib menanggung penemuan itu dengan menjadikan anaknya sebagai kurban.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-168)

Mereka kemudian mengusulkan pengganti kurban. Mereka mengusulkan untuk membicarakan hal itu dengan orang Yatsrib yang dikenal bijak yaitu Quthbah yang juga dipanggil Sajjah. Abdul Muthalib akhirnya bersedia menunda pelaksanaan kurban, dan akan pulang ke kampung halaman keluarganya di Yatsrib.

Abdul Munthalib kemudian bersama anak-anaknya ke Yatsrib, namun tidak menemukan Sajjah karena sedang pergi ke Khaybar. Abdul Muthalib kemudian menyusul ke kota tersebut dan akhirnya dapat bertemu.

Pada pertemuan pertama, belum menghasilkan saran karena Sajjah merasa belum mendapatkan isyarat untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan Abdul Muthalib dengan rombongannya diminta datang pada keesokan harinya. Esoknya, sebelum berangkat Abdul Muthalib berdoa kepada Allah agar perkaranya dapat diperoleh jalan keluarnya.

Pada pertemuan kedua dengan Sajjah, jalan keluar perkara tersebut memperoleh hasilnya yaitu sebagai pengganti atau dhiyat untuk Abdullah sebagai kurban adalah dengan diganti binatang unta dalam kelipatan sepuluh melalui proses undian. Jika tetap keluar nama Abdullah maka harus ditambahkan 10 unta sampai kemudian dihentikan undiannya jika yang keluar adalah sembelihan unta.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-167)

Ketika di undi, nama Abdullah selalu muncul hingga sepuluh kali, setelah itu baru keluar sembelihan unta. Ketika muncul sembelihan unta, Abdul belum puas, masih meneruskan undian hingga muncul nama sembelihan unta sampai tiga kali pengundian.

Setelah itu Abdul Muthalib menghentikan pengundian dan merasa bahwa Allah telah meridloi penggantian kurban tersebut. Dengan demikian, pengganti Abdullah sebagai kurban adalah unta sebanyak 100 ekor. Undian yang baru pertama kali terjadi ini menjadi bahan pembeicaraan suku-suku Arabiya.

Akhir pelaksanaan nadzar yang menggembirakan semuanya ini justru menjadikan Abdullah sebagai buah bibir kebaikan bagi para wanita dan orang orang tua Arabiya.Banyak wanita yang tertarik menjadi istrinya dan banyak orang tua ingin mengambil Abdullah sebagai menantu.

Abdul Muthalib sangat menyadari hal ini, oleh karena itu, Abdul Muthalib berinisiatif memilihkan istri untuk Abdullah, dan pilihannya jatuh pada Aminah, putri Wahab mantan pemimpin Bani Zuhrah. Namun Wahab telah meninggal beberapa tahun sebelumnya dan kedudukannya digantikan oleh saudaranya yaitu Wuhaib yang juga sebagai pengasuh Aminah.

Wuhaib juga mempunyai anak perempuan yang bernama Halah, yang kemudian dilamar oleh Abdul Muthalib untuk diperistrinya.Maka ada dua pasang pengantin yang dirayakan bersama sama yaitu Abdul Muthalib dengan Halah dan Abdullah dengan Aminah. Pernikahan initerjadi pada sekitar tahun 568 atau tahun 569 atau sebelumnya.

BERSAMBUNG

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here