Wafatnya Seorang Ulama, Pertanda Apa?

1161
Makam yang disiapkan untuk peristirahatan terakhir Syekh Ali Jaber di komplek pemakaman Ponpes Daarul Quran, Tangerang. (Foto: istimewa)

Oleh: Drs H. Tb Syamsuri Halim, M.Ag (Pimpinan Majelis Dzikir Tb. Ibnu Halim dan Dosen Fakultas Muamalat STAI Azziyadah Klender)

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

Demikian kalimat yang harus diucapkan ketika Allah Ta’ala anugerahkan musibah kepada hamba-hamba-Nya. Kalimat yang juga mesti kita ucapkan saat ini ketika banyak para ulama yang wafat.

Sejak pertengahan tahun lalu hingga saat ini, kita sama-sama menyaksikan betapa banyak ulama yang Allah Ta’ala panggil menghadap-Nya. Mereka pulang ke ‘kampung halaman’ meninggalkan kita di dunia. Kita pun semakin berduka, karena nyatanya yang dipanggil Allah Ta’ala merupakan para ulama ahlul Quran, ahlul ilmi, fuqaha, dan ahlul marifah.

Atas fenomena ini, saya teringat firman Allah Ta’ala dalam QS. Ar-Ra’d (13) ayat 41:

اَوَلَمۡ يَرَوۡا اَنَّا نَاۡتِى الۡاَرۡضَ نَـنۡقُصُهَا مِنۡ اَطۡرَافِهَا ؕ‌ وَاللّٰهُ يَحۡكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكۡمِهٖ‌ؕ وَهُوَ سَرِيۡعُ الۡحِسَابِ

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Kami mendatangi daerah-daerah (orang yang ingkar kepada Allah), lalu Kami kurangi (daerah-daerah) itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; Dia Mahacepat perhitungan-Nya”.

Mengenai ayat di atas, Ibnu ‘Abbas, sebagaimana dikutip oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya (4/406), berkata: “Maksud dari firman Allah: ‘lalu Kami kurangi bumi itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya’, maksudnya adalah hancurnya bumi, dan hancurnya bumi dengan wafatnya para ulama, fuqaha (para ahli fikih) dan orang-orang shalih di dalamnya”.

Imam Mujahid berpendapat, maksud hancurnya bumi adalah dengan wafatnya para ulama. Imam ‘Atha` bin Abi Rabah juga mengatakan yang sama.

Dalam Kitab  Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih karya Imam Ibnu Abdil Barr (w 463 H) 1/600, ketika menafsirkan ayat di atas, Imam ‘Atha` bin Abi Rabah berkata: “Maksudnya adalah dengan wafatnya para faqih dan orang-orang terbaiknya”.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الله لا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعَاً يَنْتَزِعُهُ من العِبادِ ولَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حتَّى إذا لَمْ يُبْقِ عَالِمٌ اتَّخَذَ الناس رؤسَاً جُهَّالاً، فَسُئِلوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا-البخاري

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggengam ilmu dengan sekali pencabutan, mencabutnya dari para hamba-Nya. Namun Dia menggengam ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, jika tidak disisakan seorang ulama, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka tersesat dan menyesatkan,” (HR. Al-Bukhari).

Para kiai di Indonesia lebih sering menyebut paku-paku dunia dengan para ulama. Maka dengan wafatnya para ulama berarti meninggalkan bekas yang sangat dalam, yaitu hilangnya kepahaman terhadap Ilmu-ilmu agama.

Bukankah kekuatan ilmu yang Allah berikan di setiap manusia itu berbeda-beda? Begitupun dengan kekuatan pemahaman seseorang. Di sinilah kita harus menginstropeksi diri, yaitu dengan menimba ilmu agar lebih banyak lagi, dan ini juga sebaga tanda bahwa dunia ini sudah akan berakhir.

Bahkan kewafatan seribu orang yang ahli ibadah tidak sepadan dengan wafatnya satu orang ulama. Karena seorang ulama ini akan menunjukkan hukum halal dan haram yang menerangi manusia sehingga mengerti jalan hidupnya. Sementara ahli Ibadah hanya cukup menerangi dirinya saja, karena potensi dirinya cuma sebagai ‘abid atau ahli ibadah saja.

Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu dalam sebuah atsar yang dikutip oleh Imam Hujjatul Islam Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali rahimahullah dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin, beliau berkata:

مَوْتُ أَلْفِ عَابِدٍ قَائِمِ اللَّيْلِ صَائِمِ النَّهَارِ أَهْوَنُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ بَصِيْرٍ بِحَلاَلِ الّلهِ وَحَراَمِهِ

“Kematian seribu orang ahli ibadah yang rajin salat malam dan puasa di siangnya itu tidak sebanding dengan kematian seorang ulama yang mengerti halal-haramnya aturan Allah Ta’ala (syariah)”.

Dengan wafatnya para ulama, tentunya akan banyak orang yang meraba-raba tentang hukum yang ada. Terkadang banyak orang yang tidak mengerti, namun berani mengeluarkan fatwa halal dan haram ini.

Fenomena ini bisa kita saksikan dengan pemikiran mereka di medsos (media sosial) tentang suatu hokum, hingga jadilah mereka sesat dan menyesatkan orang lain.

Dari Anas bin Malik, Nabi ﷺ bersabda:

وَمِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ العِلْمُ وَيُثْبتَ الجَهْلُ

“Sebagian tanda datangnya Hari Kiamat adalah diangkatnya ilmu dan tinggallah kedunguan,” (HR. Imam Bukhari No. 78).

Di angkat ilmu adalah dimangkatkannya ulama. Kita bersedih dengan wafatnya para ulama yang faqih, namun semuanya sudah kehendak Allah Ta’ala dalam iradah dan kekuasaan-Nya.

Wallahu a’lam bish shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here