Tiga Doktrin Politik yang Diajarkan Mbah Maimoen

199

Jakarta, Muslim Obsession – Sosok Kiai memang dikenal sebagai tokoh yang menguasai ilmu agama. Namun, Kiai juga banyak berbagai macam ilmu dan permasalahan sosial lainnya, termasuk politik.

Faktanya, para kiai seringkali mendapatkan kunjungan dari para tokoh politik, pejabat publik dan lainya karena kiprahnya di masyarakat yang begitu besar. Terlebih para kiai yang memiliki pondok pesantren, sering kali menjadi sasaran politisi.

Para kiai juga tidak sedikit yang terjun langsung di dunia politik praktis dan aktif mengusung para calon di gelanggang perpolitikan nasional. Mereka selain memiliki muhibbin yang begitu banyak juga menguasai etika politik yang memadai dalam ilmu keislaman.

Misalnya, dulu ada sosok KH. Maimoen Zubair, seorang kiai sepuh yang sangat dihormati oleh masyarakat di Rembang Jawa Tengah. Ia juga termasuk kiai sepuh dalam jajaran Nahdlatul Ulama yang aktif berpolitik di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak dahulu hingga akhir hayatnya.

Perjuanganya dalam politik tersebut juga dilanjutkan oleh beberapa putranya seperti Kiai Ubab Maimoen, Kiai Majid Kamil Maimoen, Kiai Taj Yasin Maimoen dan lainya. Keaktifan putra-putra Mbah Maimoen tersebut adalah bentuk kaderisasi yang dibangun dan didoktrin oleh ayahnya (Mbah Maimoen).

Wakil Sekretaris PWNU Jateng dan Dosen Ilmu Politik di UIN Walisongo Semarang, Rofiq Mahfudz menyatakan, ada beberapa doktrin politik yang diajarkan Mbah Moen yang ditanamkan kepada calon-calon penerusnya baik dari keluarganya maupun simpatisan partainya.

“Pertama dalam berpolitik harus memilih mardhatillah atau politik yang bisa mencapai ridha Allah swt, caranya adalah berpolitik dengan menggunakan cara-cara yang tidak melanggar ajaran agama,” tutur Rafiq dalam sebuah tulisannya yang dikutip Alif.id.

Menurut Mbah Maimoen, politik itu ada tiga macam yaitu politik mardhatillah, politik madiyah (sekuler) dan politik suyuiyyah (kotor). “Penjelasan ini menjadi doktrin yang selalu ia sampaikan dan tanamkan oleh Mbah Maimoen sebagai sesepuh di PPP. Kedua adalah politik sebagai media untuk mengembangkan dan memperjuangkan Islam dan umat Islam.”

Ia meyakini bahwa aspirasi umat Islam akan terakomodir. Nilai-nilai Islam bisa disuarakan di parlemen jika ada wakil-wakil yang kapabel di dalamnya. Kendati demikian, politik adalah bagian dari media dakwah dan perjuangan Islam.

“Doktrin ini memberikan pencerahan kepada masyarakat bahwa dalam memilih calon pemimpin memilih yang amanah,” tuturnya.

Ketiga adalah berpolitik untuk amar maruf nahi mungkar. Konsep ini menjadi modal utama dalam perjuangan umat Islam, setiap individu juga diwajibkan untuk menyebarkan kebaikan dan memberantas kemungkaran.

Namun konsep ini tidak cukup dijalankan dalam aras kultural di kehidupan sehari-hari tapi juga perlu dijalankan dalam pemerintahan sehingga politik adalah jalan untuk melakukan hal tersebut.

Proses doktrinasi ini pada era awal reformasi cukup kuat tertanam dan disambut baik oleh masyarakat. Hal ini disebabkan memiliki jalur yang selaras dengan nilai keislaman dan masih kuatnya ikatan ideologi emosional dan juga euforia reformasi yang menginginkan perubahan.

Namun, doktrin politik ini bukan berarti sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang, melainkan bisa menjadi dasar perjuangan dengan aplikasi yang lebih kreatif. Mislanya tetap berpolitik mardhatillah dan amar ma’ruf nahi munkar namun dengan cara yang lebih elegan dan berkompromi dengan perkembangan zaman. (Al)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here