Suerrr.. Akang Belum Ikhlas, Nyai!

1195

“Oh, jadi begitu ya, Pak? Sejak sore saya tunggu untuk makan bersama, eh, tidak tahunya malah makan di luar. Apa Bapak tidak tahu kalau saya sudah bikin sayur asam, tempe goreng, dan ikan asin jambal roti kesukaan Bapak?”

“Maaf, Nyi. Sehabis rapat di kantor, tiba-tiba kami kelaparan. Jadi, ya..kami makan deh,”

“Lagi pula, bukankah saya sudah pesan tadi pagi supaya Bapak makan malam di rumah?”

“Iya, Nyi. Maaf, itu mah karena accident sedikit saja..”

“Hah? Accident apa-apaan? Bapak sering seperti ini. Tiba-tiba pulang dengan perut kenyang, sementara saya di sini menunggu sendirian seperti kambing congek!”

Gundukan kekesalan yang menyesakkan dada Nyi Larung akhirnya meletup. Suhu malam yang sejuk seketika berubah panas. Senyum manis Nyi Larung yang mengembang ketika Mang Endut datang pun seketika berubah menjadi getir, pahit bukan kepalang. Nyi Larung meradang. Dalam hatinya keluar seribu satu serapah tak jelas maknanya.

Mang Endut yang tersudut hanya diam. Tak ada cengar-cengir yang menjadi ciri khasnya. Suasana hatinya kecut, karena nyali kelelakiannya menjadi ciut. Ibarat bangkong sawah, Mang Endut berada dalam tempurung. Detak jantungnya melemah.

“Maaf, Nyi..”

“Tidak ada kata maaf bagimu!”

“Oh, ya? Nyai tidak mau memaafkan saya?”

“Jika dihitung, ini sudah yang ketiga puluh delapan kali, Pak! Selalu saja makanan di luar lebih Bapak pilih daripada masakan saya!”

“Sekali lagi, maaf, Nyi..”

Permintaan maaf Mang Endut di atas adalah yang terakhir, karena setelah itu suasana menjadi hening. Adapun Nyi Larung dan Mang Endut memiliki suasana hati yang berbeda. Keduanya terdiam, sejenak terlarut suasana hati yang bertolak belakang itu. Denting jam dinding yang menunjukkan tepat pukul delapan berderit parau seolah memiliki suasana hati yang kacau, sebagai bukti partisipasinya pada peristiwa yang tengah terjadi.

 

BERSAMBUNG…


Karya: Dzunnun Bilba (Pecinta Literasi Sastra)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here