Quraish Shihab Sebut Kekayaan Islam itu Ada di Tafsir

302
Quraish Shihab. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Muslim Obsession – Pakar tafsir Al Quran Muhammad Quraish Shihab mengatakan Al-Quran pada hakikatnya menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman. Di samping berfungsi sebagai huda (petunjuk), Al-Quran juga berfungsi sebagai furqan (pembeda).

“Ia menjadi tolok ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan, termasuk dalam penerimaan dan penolakan setiap berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW ,” ujar Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat” (Mizan, 1996).

Menurut Quraish Shihab, keberadaan Al-Quran di tengah-tengah umat Islam, ditambah dengan keinginan mereka untuk memahami petunjuk dan mukjizat-mukjizatnya, telah melahirkan sekian banyak disiplin ilmu keislaman dan metode-metode penelitian.

Disitulah sesungguhnya kekayaan Islam ada di keberagamaan ilmu tafsir. Al Quran ssbagai mukjizat Allah terus dipahami oleh oleh umat Islam dengan sekian banyak penafsiran. Tentunya untuk menafsirkan Al Quran agar tidak rancu harus ada ilmu perangkatnya.

Ini dimulai dengan disusunnya kaidah-kaidah ilmu nahwu oleh Abu Al-Aswad Al-Dualiy, atas petunjuk ‘Ali ibn Abi Thalib (w. 661 M), sampai dengan lahirnya ushul al fiqh oleh Imam Al-Syafi’i (767-820 M), bahkan hingga kini, dengan lahirnya berbagai metode penafsiran Al-Quran (yang terakhir adalah metode mawdhuiy atau tawhidiy).

Di sisi lain, kata Quraish Shihab, terdapat kaum terpelajar Muslim yang mempelajari berbagai disiplin ilmu. Ini antara lain didorong keinginan untuk memahami petunjuk; informasi dan mukjizat Al-Quran.

Menurut Quraish Shihab, karena Al-Quran berbicara tentang berbagai aspek kehidupan serta mengemukakan beraneka ragam masalah, yang merupakan pokok-pokok bahasan berbagai disiplin ilmu, maka kandungannya tidak dapat dipahami secara baik dan benar tanpa mengetahui hasil-hasil penelitian dan studi pada bidang-bidang yang dipaparkan oleh Al-Quran.

Syaikh Muhammad ‘Abduh menegaskan –sebagaimana ditulis oleh muridnya, Rasyid Ridha– dalam Muqaddimah Tafsir Al-Manar: “Saya tidak mengetahui bagaimana seseorang dapat menafsirkan firman Allah SWT, yang berbunyi ‘Kana al-nas ummah wahidah’ ( QS 2 :213), kalau dia tidak mengetahui keadaan umat manusia dan sejarahnya (sejarah dan sosiologi).”

“Tentunya pernyataan ini berlaku pula dalam hubungannya dengan ayat yang berbicara tentang astronomi, embriologi, ekonomi, dan sebagainya,” ujar Quraish Shihab.

Begitu juga dengan pembuktian tentang mukjizat Al-Quran. Dalam hal ini, sungguh tepat penegasan Malik bin Nabi, pemikir Muslim kontemporer asal Aljazair itu, bahwa “Tidak seorang Muslim pun dewasa ini –lebih-lebih yang bukan dari negara-negara berbahasa Arab– yang dapat memahami kemukjizatan Al-Quran dengan membandingkan satu ayat dengan sepenggal kalimat berbentuk prosa atau puisi pra-Islam.”

Penegasan tersebut berarti tidak seorang pun dewasa ini yang dapat merasakan secara sempurna keindahan bahasa Al-Quran –yang merupakan salah satu mukjizatnya– sejak lunturnya kemampuan dan rasa kebahasaan orang-orang Arab sendiri. Dan karena itu, kata Malik lebih jauh, harus diupayakan untuk mencari pembuktian lain yang sesuai. Untuk maksud tersebut, ia telah mencoba dalam bukunya, Le Phenomena Quranic, melalui pendekatan sejarah agama.

Menurut Quraish Shihab, apa yang dilukiskan di atas menjadi salah satu bukti betapa pentingnya studi tentang Al-Quran. Akhirnya, walaupun bukan yang terakhir, kenyataan menunjukkan bahwa seluruh kelompok dan atau aliran yang berpredikat Islam, selalu merujuk kepada Al-Quran (dan hadis), baik ketika menarik ide-ide maupun ketika mempertahankannya. “Semua itu membuktikan bahwa Al-Quran menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman,” katanya.

BAGIKAN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here