Mencicipi Makanan Saat Puasa, Batal atau Tidak?

251

Muslim Obsession – Banyak Muslim yang bertanya-tanya tentang bagaimana hukum mencicipi makanan saat memasak, sedangkan mereka dalam keadaan berpuasa.

Hal ini sering dipertanyakan terutama di antaranya oleh ibu rumah tangga, ART atau juru masak di rumah makan.

Mengenai persoalan tersebut, dilansir laman resmi Kemenag, Rabu (29/3/2023) dijelaskan bahwa kiranya perlu diingatkan kembali yang membatalkan puasa itu adalah masuknya ‘ain atau benda ke dalam rongga perut.

Dikecualikan bila yang masuk ke rongga perut tersebut karena lupa, tidak tahu, atau dipaksa, atau sesuatu yang sulit dipisahkan dari air liur. Demikian seperti yang dikemukakan oleh Syekh Salim bin Sumair dalam Safinatun Najah.

الذي لا يفطر مما يصل إلى الجوف سبعة أفراد ما يصل إلى الجوف بنسيان أو جهل أو إكراه وبجريان ريق بما بين أسنان وقد عجز عن مجه لعذره

Artinya, “Yang tidak membatalkan puasa di antara yang masuk ke dalam rongga perut ada tujuh poin. (Pertama, kedua, dan ketiga) sesuatu yang masuk ke dalam perut orang yang berpuasa karena lupa, tidak tahu, dan dipaksa; (keempat) sesuatu yang masuk perutnya berupa aliran air liur bersamaan dengan sesuatu yang ada di antara sela-sela gigi, sementara ia tidak mampu memisahkannya di antara antara liur tersebut karena sulit.” (Lihat: Salim bin Sumair, Matan Safinatun Najah, Cetakan Darul Ihya, halaman 114).

Oleh sebab itu, mayoritas ulama Syafi’i berpendapat masuknya sisa-sisa makanan yang sedikit dan sulit dipisahkan dari mulut tidak membatalkan puasa.

Demikian pula rasa makanan yang tersisa dari bekas makanan. Maka itu pun tidak sampai membatalkan karena tidak adanya wujud benda yang masuk pada rongga.

أَمَّا مُجَرَّدُ الطَّعْمِ الْبَاقِي مِنْ أَثَرِ الطَّعَامِ فَلَا أَثَرَ لَهُ لِانْتِفَاءِ وُصُولِ الْعَيْنِ إلَى جَوْفِهِ

Artinya, “Adapun hanya sekadar rasa makanan yang tersisa dari bekas makanan, maka tidak ada pengaruhnya bagi pembatalan puasa karena tidak ada wujud benda yang masuk dalam rongga.” (Lihat: Hasyiyah al-Bujairimi, juz I, halaman 249).

Kesimpulan ini diambil para ulama Syafi’i berdasarkan qaul Ibnu Abbas:

عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: لا بَأْسَ أنْ يَذُوقَ الخَلَّ أوِ الشَّيْءَ، ما لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وهُوَ صائِمٌ

Artinya: Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata, tidak masalah apabila seseorang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu selama tidak masuk kerongkongan/memakan. (Musannaf Ibn Abi Syaibah, juz 2, halaman: 304)

Kesimpulannya adalah mencicipi makanan tidak sampai membatalkan puasa, selama yang dicicipinya sedikit, tidak ada wujud makanan yang masuk ke dalam rongga, kemudian rasa makanan yang terasa di ludah dan masih mungkin dibuang dikeluarkan.

Terlebih, mencicipi makanan sendiri bagi orang yang tidak ada kebutuhan hukumnya makruh. Sementara orang yang membutuhkan seperti sebagai juru masak, mencicipi makanan tidaklah makruh.

Hal ini bisa dilihat dalam fatwa asy-Syarqawi dalam kitabnya Hasyiyatusy Syarqawi ‘ala Tuhfatith Thullab :

وذوق طعام خوف الوصول إلى حلقه أى تعاطيه لغلبة شهوته ومحل الكراهة إن لم تكن له حاجة ، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي

Artinya, “Di antara sejumlah makruh dalam berpuasa ialah mencicipi makanan karena dikhawatirkan akan mengantarkannya sampai ke tenggorokan. Dengan kata lain, khawatir terlanjur tertelan masuk, lantaran sangat dominannya syahwat (untuk makan). Kemakruhan itu sebenarnya terletak pada tidak adanya hajat tertentu dari orang yang mencicipi makanan itu. Beda hukumnya bila tukang masak dan orang yang masak untuk menyuapi anak kecilnya yang sedang sakit, maka mencicipi makanan tidaklah makruh. Demikian penuturan Az-Zayadi.”

Wallahu a’lam.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here