Makna Halal Bihalal Versi Kampus

302

Oleh: Sulaeman Jajuli

Disasar dari kutub faktual, tampaknya pas untuk di-just, bahwa Indonesia plus keindonesiaannya, dalam hal menggagas dan mendesain “Kearifan Lokal”, boleh jadi paling kreatif dan produktif di dunia. Wujudnya, ia (kearifan lokal tersebut) bertebaran nyaris di berbagai daerah.

Sesuai latar yang membingkainya, “Kearifan Lokal”, memiliki sebutan tersendiri. Misal paling mengedepan karena terpengaruh oleh momentum Idul Fitri yang masih anyar adalah terminologi “Halal Bihalal”. Ia lahir bukan dari rahim mantra “Sim Salabim Abrakadabra” langsung jadi, melainkan atas proses dialektis yang cukup serius.

Kalau dibilang ada banyak versi, namun versi yang boleh dikata masuk kualifikasi “mutawatir”, bahwa terminologi “Halal Bihalal” tersebut, adalah produk buah pikir replektif dari seorang KH. Wahab Hasbullah yang dipantik oleh keinginan Bung Karno.

Syahdan, kondisi psikologis Bung Karno dalam keadaan membuncah, pasalnya merasa jengah dengan perilaku kaum elitis politik yang masih setia memelihara sikap permusuhan di antara mereka.

Dia (Bung Karno) ingin mengundang mereka supaya bisa duduk bersama dalam keadaan damai. Lantas dia meminta KH. Wahab Hasbullah untuk mendesain terminologi spesial yang yang lebih up to date dan trendy dari sekedar sebutan “Silaturahmi”.

Akhirnya KH. Wahab Hasbullah menawarkan terminologi “Halal Bihalal”, dan oleh Bung Karno ia diterima. Acara Halal Bihalal yang diselenggarakan di Istana Negara (1948 ) terbilang sukses, para elitis politik (khususnya) pada datang ke istana atas undangan Bung Karno untuk mengikuti acara tersebut.

Menjadi jelas, bahwa Halal Bihalal, lahir bukan karena adanya Idul Fitri, melainkan kebetulan momennya diselenggarakan pasca Idul Fitri. Karena keberadaannya sekarang sudah resmi terdaftar dalam kolom “Kearifan Lokal”, ia kini menjadi agenda tahunan yang biasa diselenggarakan pasca Idul Fitri (biasanya tiga atau satu minggu kemudian).

Spesial terminologi Halal Bihalal, dalam konteks diskursus pemikiran Hukum Islam, tampaknya sebangun dengan term “al-‘Urfu al-Shahih”, yakni sebuah tradisi positif (legal) yang membawa manfaat, selaras dengan subtansi pesan yang terkemas dalam Maqashidu al-Syari’ah (من باب درء المفاسد وجلب المصالح).

Tegasnya, ia hadir atas sebuah kebutuhan untuk membangun rekonsiliasi antara sesama serta untuk menghadirkan “character building”agar manusia memiliki dimensi kesalehan sosial.

Bisa jadi ada sekat beda antara Halal Bihalal konvensional versi masyarakat pada umumnya, dan Halal Bihalal modern versi masyarakat kampus yang berbasis akademis pada khususnya.

Halal Bihalal konvensional versi masyarakat pada umumnya, puncak acaranya saling bersalaman dan setelah itu diakhiri dengan acara “do’a bansos”: “Allahumma Baarik Lanaa Fiimaa Razaqtanaa Waqinaa ‘Adzaba al-Naar”. Setelah itu, bubar : أنتهى (selesai sudah).

Halal Bihalal versi masyarakat kampus yang berbasis akademis, tentu memiliki “malakah” tersendiri berbeda dengan versi masyarakat konvensional pada umumnya. Dipastikan ia (Halal Bihalal) dikupas secata dimensional perspektif qua ilmiah dan filosofistik. Mari ikuti nanti!

Namun yang pasti, Halal Bihalal versi kampus, adalah mengusung prinsip saling menghargai perbedaan pendapat, bersikap legowo ketika menerima kritikan dan menjunjung tinggi semangat bebas akademis.

Wallahu A’lam bi al-Shawab!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here