Walaupun memiliki catatan “mentereng” di bidang perekonomian, Xinjiang memiliki catatan kelam sebagai wilayah yang pernah menjadi sasaran terorisme, separatisme, dan radikalisme. Oleh karena itu, China menggelar program deradikalisasi bagi muslim Uighur.
China bersikeras bahwa tindakan yang dilakukan di Xinjiang tersebut tidak ada yang melanggar HAM. Justru Beijing tidak ingin Xinjiang seperti Suriah dan Libia.
Mengingat karena mayoritas etnis Uighur beragama Islam, maka isu tersebut bergulir ke berbagai negara di luar Amerika dan Eropa, termasuk ke Indonesia yang sebagian kelompok menganggapnya sebagai isu berlatar belakang agama.
Baca juga:
MUI Prihatin dengan Kondisi Muslim Uighur
Ketum Parmusi: Muslim Uighur Ditindas, Indonesia Tak Boleh Diam
PBNU Desak PBB Selidiki Kekerasan Muslim Uighur
Belum Nyatakan Sikap, Ini Penjelasan JK Terkait Muslim Uighur
Bergesernya isu Uighur dari radikalisme, terorisme, dan separatisme menjadi isu agama dengan menuding China anti-Islam membuat kalangan pelajar asal Indonesia dan komunitas keagamaan lainnya angkat bicara.
Kaum terdidik itu berupaya menyadarkan komunitas dan kelompok tertentu agar berpikir jernih dalam memandang isu kemanusiaan yang terjadi di provinsi terluas di daratan Tiongkok itu.
Isu Uighur tidak bisa disejajarkan dengan peristiwa pembantaian dan pengusiran terhadap etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Apalagi di Xinjiang tidak ada pengusiran etnis Uighur disertai pembantaian massal.
Konsulat Jenderal Republik Rakyat China di Indonesia, Gu Jingqi menerangkan bahwa yang terjadi di China bukanlah pembantaian Muslim Uighur, namun pemberian pelatihan untuk melawan terorisme bagi warga (program deradikalisasi).
“Ada kebijakan untuk menghapuskan terorisme, ada banyak cara. Sekarang pemerintah lokal mengadakan pusat latihan mengajarkan bahasa mandarin. Ada banyak itu terorisme, mereka tidak belajar banyak, mereka membunuh orang,” kata Gu Jingqi usai dialog di Kantor PWNU Jatim, Jalan Masjid Al Akbar Surabaya, Rabu (26/12/2018).