Bulan Rajab, Ayo Segera Lunasi Utang Puasa Tahun Lalu!

1782
Rajab (Foto: NU)

Muslim Obsession – Bulan Rajab telah tiba, menyisakan waktu yang singkat menuju bulan suci Ramadhan.

Sebagai persiapan menghadapi bulan penuh berkah tersebut, ada satu kewajiban yang sebaiknya segera dilaksanakan: melunasi utang puasa tahun lalu.

Meskipun tidak ada batasan waktu tertentu untuk mengganti puasa yang tertinggal, akan lebih baik jika tindakan ini dilakukan sebelum pintu Ramadan terbuka.

Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 184, terdapat kelompok-kelompok yang diberikan keringanan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Salah satunya adalah orang yang sakit atau dalam perjalanan.

Mereka diizinkan untuk tidak berpuasa selama Ramadhan, namun diwajibkan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut pada hari-hari di luar bulan suci Ramadhan.

Tidak hanya itu, setara dengan golongan perempuan yang sedang mengalami haid, orang yang sakit atau dalam perjalanan juga dianjurkan untuk melaksanakan kewajiban mengganti puasa pada hari-hari yang bukan bagian dari bulan Ramadhan.

Hal ini menciptakan keseimbangan dalam pelaksanaan ibadah, seperti yang dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah ra:

“Aisyah r.a. menceritakan bahwa perempuan pada masa itu kadang-kadang mengalami haid. Maka, mereka diperintahkan untuk mengganti puasa yang tertinggal, namun tidak diwajibkan untuk mengganti salat.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, menjelang Ramadhan, penting bagi umat Islam untuk memastikan utang puasa tahun sebelumnya segera dilunasi. Dengan menyegerakan pembayaran utang puasa, kita dapat memasuki bulan Ramadan dengan hati yang bersih dan siap menyambut berkah bulan penuh keberkahan tersebut.

Membayar Utang Puasa: Apakah Harus Berturut-turut?

Dalam persiapan menyambut bulan Ramadhan, penting untuk membahas cara melunasi utang puasa yang tertinggal. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah pembayaran utang puasa harus dilakukan secara berturut-turut atau apakah memungkinkan untuk menyicil pembayaran tersebut.

Dalam mengatasi ketidakjelasan ini, ayat 184 Surah Al-Baqarah memberikan petunjuk yang penting: “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Beberapa mungkin bertanya apakah pembayaran utang puasa harus dilakukan secara berturut-turut, seperti pada bulan Ramadan.

Untuk menjawab pertanyaan ini, Fatwa Tarjih yang tercantum dalam buku Tanya Jawab Agama jilid II, dikutip dari laman muhammadiyah.or.id., menyatakan bahwa dalam ayat tersebut tidak disebutkan kewajiban untuk membayar utang puasa secara berturut-turut, sebagaimana yang diwajibkan dalam membayar kaffarah puasa dua bulan, yang disebut “mutatabiat” atau berturut-turut.

Maka dari itu, menyaur puasa yang ditinggalkan karena sakit atau perjalanan dapat dilakukan dengan fleksibilitas. Tidak ada kewajiban untuk membayar utang puasa secara berturut-turut.

Sebagai contoh, jika seseorang memiliki utang puasa selama 10 hari, memungkinkan untuk membayarnya secara terpisah-pisah, misalnya pada hari Kamis dan Senin setiap minggu. Hal ini sesuai dengan pemahaman bahwa QS. Al-Baqarah ayat 184 tidak mengharuskan pembayaran utang puasa secara berurutan.

Dengan demikian, umat Islam diberikan kelonggaran dalam membayar utang puasa, memungkinkan mereka menyesuaikan pembayaran dengan keadaan dan kesempatan yang ada, tanpa harus membebani diri dengan kewajiban membayar secara berturut-turut.

 

BAGIKAN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here