Belajar kepada Hamka

1218

Teladan Permaafan

Hamka nama akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dikenal pula Buya Hamka yang ternama hingga ke negeri Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, dan dunia Islam mancanegara. Dialah sosok ulama, pemikir, sastrawan, dan tokoh besar yang lahir dari rahim Muhammadiyah, umat Islam, dan bangsa Indonesia. Karya keilmuannya tidak kurang dari 120 buku. Ketokohan, pemikiran, dan khazanah dirinya sungguh melampaui zamannya. Figur ini tampil tidak dalam sosok perkasa yang ditakuti orang, tetapi menjelma untuk dihormati dan dijadikan teladan.

Buya Hamka dikenal sebagai figur alim nan rendah hati. Sosok ini meski berilmu tinggi tetapi tidak angkuh diri. Ia ulama dan tokoh Islam yang teduh-meneduhkan, bukan figur garang dan menghujat orang. Ilmunya luas dan perangainya dihiasi budi luhur. Dia ajarkan umat tentang falsafah hidup yang utama. Kecintaannya pada tasawuf, sastra, dan kebaikan hidup menjadi bagian dari kecendekiawannya yang halus nan cerdas. Bagaimana mungkin sosok penyebar hikmah itu menebar ancaman pembunuhan yang menggiringnya ke jeruji besi. Suatu dakwah politik yang paradoks, tetapi sungguh terjadi.

Kenapa politik begitu ganas memakan korban tak bersalah? Konflik ideologi yang tajam di akhir tahun 1950an dan awal 1960an menyeret perseteruan dan pertengangan antar elite dan kekuatan bangsa ke puncak tragedi politik yang kacau dan sarat kegetiran. Dunia sastra dan kesenian pun diseret pada konflik politik yang ganas sebagaimana Pramudya Ananta Toer dengan Lekra-nya menghabisi para budayawan lain yang tak sehaluan.

Setiap kelompok membawa ambisi pertarungan politik primordial dan saling berhadapan layaknya lawan di medan perang, satu sama lain tidak ingin jatuh dan lawannya menang. Segala idiom politik berbasis agama dan ideologi dipoles tajam dan penuh kegentingan, sehingga saling menerkam. Kursi kekuasaan pun menjadi alat pertaruhan untuk menjadi lahan perebutan hegemoni, sekaligus menampilkan kesewenang-wenangan.

Namun seorang Hamka justru keluar dari arena politik garang dan dendam. Budayawan Taufik Ismail bercerita. Pada awal Orde Baru, di suatu forum ketika Buya Hamka ditanya tentang larangan buku Pramoedya oleh pemerintah Orde Baru.  Hamka justru tidak bersetuju. Semua hadirin tercengang dan terdiam senyap. Jika tidak sepaham dengan buku Pramudya tidaklah dilarang, ujar Hamka, tapi tandingi dengan buku yang lain. “Saya memaafkan dia”, ujar penulis buku Tasawuf Modern itu. Taufik Ismail dan kawan-kawan pun terdiam bisu.  “Yang terpancar dari Buya Hamka ialah jiwa ikhlas”, tutur Taufik.  Ikhlas yang diamalkan dalam tindakan, bukan menjadi norma keagamaan yang indah di lisan dan tulisan namun kering dalam kenyataan.

Hamka memberikan teladan tentang permaafan yang tulus. Apa kata Hamka, “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…”. Suatu ungkapan jiwa yang bersih dan mulia, di tengah kelaziman para perawat marah dan dendam politik tak berkesudahan.

Buya Hamka memberi pelajaran luhur tentang akhlak permaafan yang terjauhkan api dendam. Seperti Nelson Mandela berbuat sama menghadapi kekejaman politik rasial di Afrika Selatan, ia memaafkan meski tidak melupakan. Hamka  mempraktikkan tasawuf ihsan, suatu kebajikan yang melampaui orang biasa. Akhlak tentang sikap adil, damai, pemaaf, dan tidak dendam kesumat di arena politik yang terjal dan penuh bara. Pekerjaan akal budi yang utama seperti itu tidak dilakukan sembarang orang, tetapi lahir dari ruhani Islami yang terlatih dalam perjuangan hidup yang panjang.

Sungguh tak mudah berpolitik penuh hikmah dan nirpermusuhan beraura dendam. Dalam bukunya Lembaga Hidup (2015), Hamka memberikan kesaksian: “Memang sulit mengubah seorang musuh menjadi kawan, kemudian menjadi sahabat, memadamkan kemarahan hati dan mengubah muka marah dengan senyum, memberi maaf kesalahan sehingga udara yang tadinya mendung menjadi terang benderang. Memang susah melakukan itu. Itu hanyalah pekerjaan orang yang hatinya memang hati waja, budinya budi emas; yaitu orang yang mempunyai kemauan besar dan cita-cita yang mulia. Memang susah! Tetapi menempuh kesusahan itulah yang harus kita coba, untuk kemuliaan jiwa kita sendiri.”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here