Agama Harus Jadi Problem Solver, Bukan Bagian Masalah

163
Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid Sa’adi. (Foto: kemenag)

Surabaya, Muslim Obsession – Agama seyogianya dapat dihadirkan sebagai solusi atas beragam persoalan, bukan menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Oleh karenanya, diperlukan rekontekstualisasi ajaran agama.

Hal itu ditegaskan Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi saat menutup Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 di UIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis (4/5/2023).

“Agama harus hadir menjadi problem solver, bukan bagian dari masalah itu sendiri, dan itu harus dimulai dari konstruksi fikih yang ramah terhadap perbedaan dan perubahan,” ungkap Wamenag.

Wamenag menambahkan, Islam hendaknya dapat menjadi penawar bagi persoalan global yang hingga kini masih membutuhkan peran nyata dari agama itu sendiri. Fikih sesuai dengan wataknya sangat terbuka lebar bagi munculnya pemahaman dan paradigma baru.

BACA JUGA: Ulama Pesantren dan Akademisi Asing Kaji Ulang Relevansi Fikih di AICIS 2023

“Sehingga, diperlukan wadah yang memberikan kesempatan kepada para ahli (expert) dan para pakar untuk menyumbangkan pemikiran brilian untuk tatanan kehidupan umat manusia yang lebih baik,” sebutnya.

AICIS ke-22 di UIN Sunan Ampel Surabaya menjadi ajang diskusi para pakar keagamaan, dalam dan luar negeri, yang berlangsung dari 2 – 4 Mei.

Ajang ini diikuti para akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Hadir sebagai pembicara, antara lain: Dr. (HC). K. H. Yahya Cholil Staquf (Indonesia), Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Indonesia, Prof. Abdullahi Ahmed An Na’im (Amerika Serikat), Prof. Dr. Usamah Al-Sayyid Al Azhary (Universitas Al Azhar di Mesir), Muhammad Al Marakiby, Ph.D (Mesir).

Hadir juga Dr. Muhammad Nahe’i, MA (Indonesia), Prof. Dr. Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim (Malaysia), Prof. Mashood A. Baderin (Inggris), Dr. (HC) K. H. Afifuddin Muhajir (Indonesia), Prof. Dr. Şadi Eren (Turki), Prof. Tim Lindsey Ph.D (Australia), Prof. Dr. Mohd. Roslan Bin Mohd Nor (Malaysia), dan Ning Allisa Qotrunnada Wahid (Indonesia).

BACA JUGA: Ulama Mesir Membolehkan Ucapkan Selamat Hari Raya Keagamaan ke Nonmuslim

AICIS ke-22 ini mengangkat tema Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace. Menurut Wamenag, tema ini sangat tepat untuk mencoba menggali ulang terhadap ajaran-ajaran Islam dalam menghadapi tantangan kehidupan dan kemoderanan.

Meski temanya terkait dengan fikih kemanusiaan dan perdamaian yang sudah lama diwacanakan para cendekiawan sebelumnya, tetapi forum ini lebih menekankan pada upaya untuk melihat ulang atas kesesuaian konteks seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin dahsyat.

AICIS ke-22 ini menghasilkan beberapa pokok pikiran atau gagasan dalam bentuk rekomendasi yang disebut: Surabaya Charter.

Ada enam rekomendasi yang dihasilkan, yaitu:

1- Rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian dan keadilan;

2- Menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih;

BACA JUGA: Wakil Presiden Buka Muktamar Internasional Fikih Peradaban

3- Definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.

4- Menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain Muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua;

5- Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras.

6- Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama.

Wamenag berharap hasil rumusan Surabaya Charter menjadi dokumen akademik sebagai tawaran bagi umat Islam dan dunia dalam menghadapi dinamika kehidupan majemuk dan kompleks.

“Surabaya Charter juga diharapkan dapat diterima sebagai kontribusi kampus dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta bagi dunia yang lebih berkedilan dan bernartabat,” pungkasnya. (Fath)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here