Wali-Wali Allah yang Tersembunyi, Mereka Ada di Sekitar Kita?

24432
Ilustrasi.

Muslim Obsession – Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan manusia untuk selalu berprasangka baik (husnuzhan) dan melarang perbuatan prasangka buruk (su-uzhan). Karena prasangka buruk bisa mengakibatkan seseorang memiliki karakter merasa paling benar dan merendahkan orang lain.

Manusia seringkali terkecoh dengan wajah atau tampilan seseorang. Mereka yang berwajah atau berpenampilan tak sedap dipandang seringkali dinilai rendah, padahal dalam pandangan Allah subhanahu wa ta’ala bisa jadi memiliki derajat yang mulia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan dalam haditsnya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-  إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian,” (HR. Muslim no. 2564).

Jelas benar apa yang disampaikan teladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan menampar kita yang seringkali memandang rendah orang lain dan merasa diri kita lebih tinggi dari orang lain.

Terkait hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa di antara umatnya ada orang-orang yang memiliki tampilan buruk dalam pandangan orang lain, sehingga meraka kerap dicibir dan diusir. Namun sebaliknya, dalam pandangan Allah subhanahu wa ta’ala, mereka memiliki kemuliaan di sisi-Nya.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رب أشعث مدفوع بالأبواب لو أقسم على الله لأبره

“Berapa banyak orang yang rambutnya kusut dan tertolak di pintu-pintu (manusia), namun sekiranya ia bersumpah atas nama Allah niscaya Allah pun mengabulkannya,” (HR Muslim).

Dalam syarahnya pada bab Fadhl al-Dhu’afa` wa al-Khamilin (Keutamaan Kalangan Duafa dan Tersembunyi), Imam al-Nawawi menjelaskan hadits itu sebagai berikut:

“Maknanya, sekiranya orang itu bersumpah untuk terjadinya sesuatu maka Allah pun merealisasikannya, sebagai bentuk pemuliaan terhadap orang tersebut dengan mengabulkan permintaannya dan juga untuk menjaganya agar tidak menyelisihi sumpahnya. Hal tersebut karena tingginya kedudukan orang itu di sisi Allah, meskipun ia hina dalam pandangan manusia. Dijelaskan pula bahwa makna ‘sumpah’ di sini maksudnya adalah ‘doa’.” [Syarh Shahih Muslim, vol. XVI, hlm. 174.]

Orang-orang yang dimaksud dalam hadits di atas adalah para Wali Allah dari kalangan dhuafa, tersembunyi dan jauh dari popularitas, sebagaimana dijelaskan oleh al-Munawi [dalam Faydh al-Qadir, vol. V, hlm. 48].

Pengabulan doa mereka diperlukan oleh masyarakat, khususnya pada saat terjadi musibah dan bencana, sebagaimana sebagian kisah yang terjadi di era Salaf. Seorang tokoh generasi Tabiin (w. 130 H, rahimahullah), Muhammad bin al-Munkadir, bertutur:

“Ada sebuah tiang di masjid Nabawi yang biasanya saya pakai untuk menghadapnya di dalam shalat dan juga untuk duduk bersandar. Ketika itu penduduk Madinah sedang dilanda kemarau panjang. Mereka sudah keluar melakukan salat Istisqa`, namun hujan belum juga turun.

Pada suatu malam, saya beristirahat sambil bersandar pada tiang tersebut seusai mengerjakan salat Isya di masjid Nabawi. Tiba-tiba datanglah seorang lelaki berkulit hitam yang mengenakan jubah dan syal di lehernya. Ia maju menghadap tiang di bagian depan, sementara saya (tersembunyi) di balik tiang di belakangnya. Orang itu selanjutnya mengerjakan salat dua rakaat, kemudian ia duduk dan berdoa:

أي رب خرج أهل حرم نبيك يستسقون فلم تسقهم، فأنا أقسم عليك لما سقيتهم

‘Duhai Rabbku, penduduk kota Nabi-Mu telah keluar untuk meminta hujan kepada-MU namun Engkau belum jua menurunkan hujan kepada mereka, maka aku bersumpah atas nama-Mu agar kiranya Engkau menurunkan hujan kepada mereka.’

Saya pun bergumam, ‘Orang ini gila.’

Namun, belum sampai ia menurunkan tangannya, tiba-tiba terdengarlah suara halilintar, kemudian diikuti dengan turunnya air hujan dari langit. Ketika mendengar suara hujan, ia pun memuji Allah dengan berbagai pujian yang belum pernah saya dengar yang semisalnya, lalu ia berkata:

ومن أنا وما أنا حيث استجبت لي، ولكن عذت بحمدك وعذت بطولك

‘Siapa aku, apa kedudukanku, sehingga Engkau mengabulkan doaku… Namun aku berlindung kepada-MU dengan memuji-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dengan karunia-Mu.’

Lelaki itu kemudian mengerjakan shalat, hingga menjelang waktu Subuh, maka ia pun mengerjakan shalat Witir. Ketika masuk waktu Subuh, ia pun mengerjakan shalat sunah Fajar, lalu ia pun Shalat Subuh berjamaah bersama orang-orang lainnya, termasuk saya.” Demikian kurang lebih penuturan Muhammad bin al-Munkadir.

Selanjutnya, Muhammad bin al-Munkadir berusaha mengikuti dan mengetahui identitas orang tersebut. Tak lama kemudian upaya itu berhasil. Ketika perbuatan dan identitasnya diketahui oleh Muhammad bin al-Munkadir, orang itu pun pergi menghilang dengan meninggalkan kediamannya. Muhammad bin al-Munkadir kembali berupaya mencarinya, namun ternyata sudah tidak bisa menemukannya.

[Lihat: Shifah al-Shafwah, vol. I, hlm. 403-404 dan Ayna Nahnu min Akhlaq al-Salaf, hlm. 24-26.]

Para Wali Allah itu boleh jadi ada di sekitar kita bahkan mungkin sangat dekat. Mereka tersembunyi, tak menampakkan keshalihannya. Dan sebagai manusia biasa, saat ini, kita tentu sangat membutuhkan doa-doa mereka agar pandemi yang terjadi saat ini segera dihilangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Wallahu a’lam. (Fath)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here