Sudan Selatan Dituduh “Membunuh” Wartawan oleh PBB

1085
David Shearer, kiri, kepala Misi U.N di Sudan Selatan (UNMISS) dan Direktur Hak Asasi Manusia UNMISS Eugene Nindorera menyampaikan sebuah konferensi pers di Juba, Sudan Selatan, Kamis (22/2/2018) waktu setempat (Photo: Independent)

Sudan Selatan, Muslim Obsession – PBB menuduh Sudan Selatan telah membunuh wartawan yang tengah meliput krisis kemanusiaan di negara tersebut. Baik membunuh secara fisik maupun hak mereka.

Misi PBB di Sudan Selatan (UNMISS) mengatakan, sebanyak 102 wartawan sebagai aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) memiliki hak kebebasan berpendapat. Namun, aturan tersebut telah dilanggar, sejak Juli 2016 sampai Desember 2017.

“Termasuk kasus kematian dua wartawan, 58 penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap wartawan. Sebanyak 16 wartawan dipecat dari pekerjaan mereka. Tiga media ditutup dan dihentikan. Serta pemblokiran artikel dan situs berita,” ungkap David Shearer, pemimpin UNMISS pada sebuah konferensi pers.

Dilaporkan Independent pada Jumat (23/2/2018), juru bicara Presiden Salva Kiir Ateny Wek Ateny membantah tuduhan itu. Ia mengatakan, pihak keamanan nasional tidak pernah menghentikan jurnalis atau media, untuk menjalankan pekerjaan mereka di Sudan Selatan.

“Sebagai pemerintah, kami mengakui kebebasan berekspresi warga dan siapapun yang terakreditasi,” tuturnya.

Pemberontak SPLA-IO juga membantah tuduhan PBB. Ia mengklaim pihaknya tidak mencegah wartawan melakukan pekerjaan mereka.

“Kami tidak membatasi. Kami telah mengizinkan wartawan untuk mengakses front kami. Mereka pergi ke kamp pengungsi kami, mereka pergi ke daerah kontrol kami. Di wilayah pemerintah, di mana orang takut berbicara dengan keluarga mereka sendiri,” tandas juru bicara SPLA-IO, Lam Gabriel.

Sudan Selatan mengalami konflik sipil pada bulan Desember 2013, setelah bentrokan antara tentara yang setia kepada Kiir dan mantan deputi Riek Machar. Sejak itu, puluhan ribu orang meninggal dan lebih dari 4,5 juta terpaksa meninggalkan rumah mereka.

Kesepakatan perdamaian ditandatangani pada 2015, namun terbukti goyah sejak awal. Beberapa minggu setelah Machar kembali ke Juba pada bulan April 2016 untuk kembali menduduki jabatan semula, pertempuran justru kembali meletus pada bulan Juli di tahun yang sama, hingga saat ini. (Vina)

BAGIKAN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here