Sudah Ada Sejak Zaman Dulu, Berikut Sejarah Perbedaan Hari Lebaran

518
Warga melaksanakan Shalat Idul Adha 1443 H di halaman SMAN 2 Jakarta Barat, Sabtu (9/7/2022). (Foto: Edwin B/ Muslim Obsession)

Jakarta, Muslim Obsession – Lebaran tahun 2023 atau 1444 H diprediksi akan berbeda hari. Muhammadiyah sudah menetapkan Hari Raya Idul Fitri pada Jumat, 21 April 2023. Sedangkan, pemerintah diduga akan menetapkan Lebaran pada Sabtu, 22 April 2023.

Anjuran pemerintah inilah yang akan menjadi patokan resmi perayaan Lebaran bagi seluruh umat Muslim di Indonesia.
Sebetulnya fenomena lebaran beda hari tidak perlu dipermasalahkan, karena metode pengitungannya berbeda.

Bahkan perbedaan hari raya lebaran tidak hanya berlangsung pada saat ini, tapi sudah cukup lama, dan masih saja menimbulkan perdebatan di masyarakat.

Salah satu yang mencatat fenomena ini adalah orientalis dan pakar Islam asal Belanda, Snouck Hurgonje. Dalam catatan berjudul Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid VIII (1994), Snouck bercerita ada dua metode menghitung hilal peringatan 1 Syawal di masa kolonial.

Pertama, berdasarkan penanggalan dan penglihatan terhadap bulan baru atau hilal. Biasanya metode ini dilakukan oleh orang Muslim terpelajar yang mengerti astronomi atau ilmu falak. Mereka melakukannya dengan melihat langsung datangnya bulan di langit di daerah dataran tinggi.

Sedangkan metode kedua, berdasarkan tanggalan yang ditentukan pemerintah Belanda. Tanggalan ini tanpa perhitungan khusus dan hanya menghitung hari sejak puasa hari pertama dilaksanakan.

Di masa kolonial, Snouck melihat banyak orang yang mengikuti metode pertama. Jika sekarang perhitungan secara empiris atau rukyat dilakukan dengan ketentuan-ketentuan, seperti ketinggian bulan sekian derajat, maka di masa kolonial tidak demikian.

Pengamat atau saksi hanya perlu melihat bulan saja. Apabila sudah melihat, maka akan divalidasi. Hasil validasi inilah yang akan dikirim ke pemerintah kolonial untuk ditetapkan sebagai 1 Syawal.

Namun, akibat di tiap wilayah Indonesia memiliki perbedaan ketinggian, sudah pasti akan berbeda hasilnya. Di wilayah tertentu bulan sudah terlihat, tetapi tidak di wilayah lain.

Akibat perbedaan inilah, tulis Ensiklopedia Hisab Rukyat (2005), hari Lebaran juga berbeda. Meski begitu, untuk mensiasati ini biasanya pemerintah kolonial akan melihat suara mayoritas. Jika sekiranya bulan belum terlihat, maka libur lebaran ditambah satu hari untuk menggenapi puasa sebanyak 30 hari. (Al)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here