Sejarah Berhaji Orang Indonesia 

215

Oleh: M. Fuad Nasar (Mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)

Sejarah orang Indonesia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah al-Mukarramah telah berlangsung semenjak berabad-abad silam. Jalur maritim Kepulauan Nusantara, Teluk Persia, dan Laut Merah telah dikenal sejak dahulu kala.

Berbagai sumber menyebutkan bahwa sejak dibukanya Terusan Suez tahun 1869, waktu yang ditempuh dalam transportasi laut dari Indonesia ke Jeddah menjadi lebih cepat dan lebih murah, serta relatif menguntungkan dari segi keamanan pelayaran. Sebelum ada kapal uap, perjalanan jemaah haji Indonesia untuk sampai ke Jeddah mengarungi lautan dilakukan dengan kapal layar.

Prof. Dr. Deliar Noer dalam buku Administrasi Islam Di Indonesia (Jakarta: CV. Rajawali, 1983) menyebutkan di antara negeri-negeri bukan Arab, Indonesia termasuk negeri yang banyak mengirim jemaah haji.

Di masa penjajahan Belanda, tahun kemuncak ialah tahun 1926/1927, ketika sekitar 52.000 orang pergi ke Makkah. Gelar haji dipandang sebagai gelar terhormat dan umumnya mereka memakai jubah atau serban. Nasihat-nasihat para haji diperhatikan oleh masyarakat dan ketaatannya beribadah dijadikan contoh.

Semenjak berkuasanya Gubernur Jenderal Daendels, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerbitkan ordonansi (regulasi) mengenai perjalanan haji. Dalam ordonansi haji 1859 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan persyaratan berangkat haji harus mempunyai cukup uang untuk membiayai perjalanan ke Makkah.

Persyaratan itu dibuktikan dengan jaminan dari Bupati bahwa calon haji yang akan memperoleh paspor/pas jalan memiliki uang untuk membiayai perjalanan dan kebutuhan hidup keluarga yang ditinggalkannya. Perkembangan lebih lanjut ordonansi haji menjadi alat pemerintah kolonial untuk memantau aktivitas keagamaan para haji.

Kenyataannya bahwa ibadah haji memberi pengalaman spiritual luar biasa yang bersifat personal kepada pelakunya. Kalau diamati lebih jauh, ibadah haji mempertebal rasa persaudaraan di antara sesama muslim sebangsa, setahah air dan sedunia. Sejarah mencatat bahwa gerakan pembaharuan dan pemberontakan terhadap penjajahan sebagian besar digerakkan oleh kaum agama terutama dipelopori oleh para haji dan ulama muda yang pulang dari Makkah. Perjalanan haji ke Makkah mendorong transformasi sosial dan kesadaran politik-nasionalisme umat Islam Indonesia dalam napas semangat keagamaan.

Berkumpulnya jemaah haji dari seluruh pelosok dunia Islam di Makkah dan Padang Arafah dipandang sebagai Kongres Islam Sedunia. Penasihat pemerintah kolonial C. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa musuh pemerintah Belanda bukanlah Islam dalam arti ibadah, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Orientalis dan ilmuwan Belanda itu memberikan saran garis kebijakan politik yang berbeda terhadap umat Islam di Hindia Belanda.

Perbaikan Perjalanan Haji

Jemaah haji Indonesia di masa lalu pada umumnya orang-orang yang sangat sederhana dan tidak banyak tuntutan. Ketika mau berangkat haji yang terbayang oleh mereka ialah pengorbanan tenaga, pikirkan, dan harta benda.

Perbaikan perjalanan haji pertama kali diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia melalui Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan membentuk Bagian Penolong Haji diketuai oleh K.H.M. Sudja’ pada 1921. PB Muhammadiyah mengirim utusan ke Arab Saudi dan memberikan saran-saran perbaikan kepada pihak yang berwenang. Bagian Penolong Haji membentuk Komite Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia beranggotakan para ulama dan kaum cendekia. Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi Minangkabau tahun 1930 merekomendasikan agar mengadakan pelayaran sendiri untuk pengangkutan jemaah haji Indonesia.

Mengutip Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Kementerian Agama RI, 1957), selama masa pendudukan Jepang dan masa revolusi kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, tidak ada kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Kendala utamanya adalah tidak ada sarana transportasi massal dan faktor keamanan dalam perjalanan. Rakyat saat itu sedang berjihad melawan Belanda yang hendak kembali menjajah tanah air Indonesia.

Ulama besar Hadratussyaikh K.H. Hasjim Asy’ari (Ketua Majelis Syura Masyumi dan pendiri Nahdlatul Ulama) mengeluarkan fatwa tidak wajib haji bagi orang Indonesia saat itu. Kementerian Agama menyiarkan fatwa K.H. Hasyim Asy’ari kepada seluruh penduduk dan umat Islam Indonesia. Penghentian perjalanan haji sekaligus sebagai boikot terhadap Belanda yang saat itu menguasai armada pelayaran yang digunakan untuk mengangkut calon jemaah haji.

Dalam masa revolusi kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengirim dua kali misi haji ke Arab Saudi. Misi Haji I tahun 1948, terdiri atas K.H.R. Muhammad Adnan, Ismail Banda, K.H.M. Saleh Suaidy, dan H. Syamsir. Misi Haji I merupakan perutusan resmi haji Indonesia yang pertama sesudah Perang Dunia Kedua. Misi Haji II tahun 1949, terdiri dari H. Abd Hamid, M. Noor Ibrahimy. Prof. Ali Hasjmy, Prof. Abdul Kahar Mudzakkir, dan H. Sjamsir. Misi Haji RI mengemban tugas peribadatan dan diplomasi dalam kerangka perjuangan kemerdekaan Indonesia menentang penjajahan.

Pada musim haji tahun 1950 atau setelah pengakuan kedaulatan, pemerintah memberangkatkan jemaah haji menggunakan sarana transportasi kapal laut dengan kotum 10.000, sementara yang terisi kurang lebih 9.907 jemaah haji. Pada waktu kapal haji yang pertama “Tarakan” hendak berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim dalam acara pelepasan jemaah haji berpesan kepada kapten kapal, “Saya percayakan keselamatan jemaah haji ini kepada Tuan. Saya harap mereka mendapat pelayanan yang sesuai dengan kehormatannya.”

Dalam buku Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik (Badan Litbang Depag dan PPIM-IAIN Jakarta, 1998), bab “K.H. Wahid Hasjim – Konsolidasi dan Pembelaan Eksistensi” diungkapkan usaha penting Wahid Hasjim lainnya ketika dia menjadi Menteri Agama adalah memperbaiki penanganan urusan haji. Dia menetapkan kebijakan bahwa pelaksanaan ibadah haji sepenuhnya ditangani pemerintah, yakni oleh Bagian Urusan Haji dari Kementerian Agama. Dalam pelaksanaannya, bagian ini bekerjasama dengan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI). Selain pemerintah, PHI adalah satu-satunya lembaga yang mengurus masalah haji. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memudahkan penyelenggaraan ibadah haji dan juga menyelamatkan calon jemaah dari tipuan pihak-pihak tertentu yang ingin mengeksploitasi mereka.

Perbaikan perjalanan haji meliputi dua dimensi yaitu keagamaan dan kenegaraan. Kerja Sama Kementerian Agama dengan PHI dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Serikat (RIS) K.H.A. Wahid Hasjim tanggal 6 Februari 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama RI K.H. Faqih Usman di Yogyakarta Nomor AIII/1/648 tanggal 9 Februari 1950 serta Keputusan Dewan Menteri RIS dalam rapat tanggal 8 Februari 1950.

Instruksi Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 1958 memperkuat kerja sama Kementerian Agama dengan PHI dengan adanya klausul bahwa penyelenggaraan perjalanan jemaah haji oleh Menteri Agama diserahkan kepada Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI). Yayasan PHI merupakan badan hukum milik umat Islam yang didirikan pada 21 Januari 1950 dengan Ketuanya K.H. M. Sudja’ dan Wakil Ketua K.H. A. Wahab Chasbullah, Sekretaris Muhammad Sjaubani, Bendahara Abdul Manaf, dan dibantu oleh Ki Bagus Hadikusumo, H.M. Muljadi Djojomartono dan K.H. Moh. Dachlan.

Yayasan PHI dibentuk sebagai pelaksanaan resolusi Kongres Muslimin Indonesia pada bulan Desember 1949 dan pengurusnya terdiri dari para tokoh umat Islam dari berbagai golongan. Dalam periode 1960-an dan seterusnya, Pengurus PHI, antara lain H.A. Musaffa Basjyr (Ketua), K.H. Hasan Basri, H.S.M. Nasaruddin Latif, K.H. Masjkur, H. Bakrie Sudja’, H.A. Hanan Rofi’ie, dan lain-lain. Yayasan PHI menerbitkan Majalah PEHAI (Perjalanan Haji Indonesia) dan kemudian diganti nama Majalah Islam Kiblat yang mendapat sambutan hangat dari pembaca dan pelanggannya di seluruh tanah air.

Pada era perhajian dekade 1950-an sudah dikenal pembagian kuota haji (dahulu disebut kotum) masing-masing daerah. Kementerian Agama juga mengeluarkan ketentuan bagi pegawai negeri yang hendak pergi beribadah haji mendapat kotum haji secara prioritas dengan syarat-syarat tertentu dan berhak mendapat cuti besar selama tiga bulan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 1955. Kotum haji untuk pegawai negeri yang mendafftar dengan syarat-syarat tertentu diambilkan dari kotum haji golongan rakyat umum.

Dalam Instruksi Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 1958 ditetapkan bahwa yang dapat diterima menjadi pelamar calon haji ialah; (a) Muslimin/muslimat penduduk Indonesia, Warga Negara Republik Indonesia atau penduduk Bangsa Asing, yang akil baligh (berumur 15 tahun ke atas), belum lanjut usia (belum tua sepuh), anggota badannya tidak cacat sedemikian rupa, sehingga ia betul-betul kuat mengurus dirinya sendiri dalam perjalanan; (b) yang mampu membayar semua biaya naik haji dengan tidak melalaikan tanggungan kepada keluarga yang ditinggalkannya dan tidak terpaksa menjual harta benda yang menjadi pokok penghidupannya; (c) yang tidak tersangkut dalam urusan Polisi/atau Pengadilan; (d) yang tidak menderita penyakit jiwa; (e) yang belum menunaikan ibadah haji, kecuali mereka yang mengantarkan istri/mukharimnya yang belum menunaikan ibadah haji; (f) yang tidak nyata-nyata berusaha untuk mencari keuntungan, seperti menjadi badal syekh dan sebagainya.

BAGIKAN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here