RUU Cipta Kerja Hapus Pasal Pidana Pelaku Pembakar Hutan

861

Jakarta, Muslim Obsession – RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan disahkan DPR menjadi UU. RUU sejak awal kelahirannya sudah ditentang banyak orang. Termasuk dua ormas Islam terbesar, yakni PBNU dan PP Muhammadiyah yang ikut menolak dan sekaligus memberikan catatan khusus agar RUU Cipta Kerja diperbaiki.

Para buruh juga ikut menolak RUU Cipta Kerja. Mereka sudah merencanakan unjuk rasa besar-besaran di depan Gedung DPR untuk mendesak pembatalan RUU Cipta Kerja. Termasuk juga dari para aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). BagI Walhi RUU Cipta Kerja tidak mendukung pelestarian lingkungan.

Musababnya dalam RUU itu DPR dan Pemerintah telah merevisi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), termasuk pasal sakti penjerat pembakar hutan.

Berdasarkan draf RUU Cipta Kerja yang sudah beredar di kalangan wartawan, Senin (5/10/2020), salah satu pasal yang direvisi adalah Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal Pertanggungjawaban Mutlak.

Pasal 88 berbunyi:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Dalam draf RUU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.

Dengan tidak adanya unsur pembuktian kesalahan bagi pelaku pembakar hutan, artinya mereka tidak bisa dipidana.

“Dihapusnya unsur ‘tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan’ dikhawatirkan mengaburkan pengoperasian ketentuan ini. Belum lagi ketentuan Pasal 49 UU Kehutanan diubah total, tidak ada kewajiban tanggung jawab terhadap kebakaran di areal konsesi, di RUU “Cilaka” diubah sekadar bertanggungjawab untuk melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran,” kata Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif nasional Walhi, Boy Even Sembiring dalam keterangannya, saat itu Jumat (14/2).

Sebagaimana diketahui, Pasal 88 UU PPLH itu digunakan pemerintah untuk menjerat para perusak dan pembakar hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedikitnya mengantongi putusan dengan nilai ganti rugi hingga Rp 18 triliun dari pembakar/perusak hutan. Meski belum seluruhnya dieksekusi, namun putusan pengadilan ini memberikan harapan bagi penegakan hukum lingkungan.

Pasal di atas pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada 2017. Mereka meminta pasal itu dihapus karena merugikan mereka. Di tengah jalan, gugatan itu dicabut. (Albar)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here