Restu Ibu Tumpah di Pasir Permisan

Laporan Egy Massadiah dari Pembaretan ke-107 Kopassus**

365

Deru Haru Berpacu

Saat tiba pada puncak acara pembaretan dan penyematan brevet komando, panitia mempersilakan para orang tua untuk siap-siap. Panitia memilah, prajurit yang karena satu dan lain hal orang tua atau keluarganya berhalangan hadir di Pantai Permisan, diminta membuat barisan tersendiri.

Setelah semua siap, para orang tua dipersilakan menyematkan baret merah di kepala putra kebanggaannya. Sekaligus menyematkan brevet komando kebanggaan di dada.

Sejenak terjadi suasana “kalang kabut”. Maklum para orang tua susah payah mencari anaknya yang nyaris semua mirip karena tertutup cat kamuflase warna hitam hijau. Beberapa orang tua butuh waktu lumayan lama untuk bisa menemukan sang anak.

Sedangkan, Danjen, para asisten, menyematkan baret dan brevet kepada para prajurit komando yang tidak dihadiri orang tua atau keluarganya.

Saat itulah, suasana haru berpacu dengan debur ombak laut Selatan. Para orang tua tak kuasa menahan air mata. Tidak sedikit yang sangat emosional hingga tak kuasa menahan ledakan tangis dan membuncahnya air mata. Sejumlah siswa tampak merangsek ke kaki ibunya, bersimpuh, bersujud. Sementara sang ibu menahan haru dengan air mata bercucuran.

Para prajurit pun larut dalam perasaan haru. Dalam tubuh penuh peluh, wajah penuh cat kamuflase, dua bola mata mereka tampak menjadi jelas dengan binar-binar air mata.

Pemandangan sama juga terjadi di barisan prajurit yang lain. Hadirin pun tak kuasa menahan rasa haru. Bagi sebagian orang tua yang juga purnawirawan komando, terkenang pada peristiwa yang dulu dialaminya juga. Di tempat yang sama. Di waktu yang sama. Di pantai yang sama. Dalam suasana sakral yang mengharu-biru.

Meski langit cerah, tetapi hujan tangis di Pantai Permisan memang seperti tak kunjung reda. Para prajurit yang sudah berbaret merah dan berbrevet komando, duduk berjajar dan saling berhadap-hadapan. Kepada mereka diberikan masing-masing nasi kotak.

Bisa jadi, itulah makanan “terbaik” yang mereka dapat sejak mengikuti pendidikan dan pelatihan di Batujajar, Bandung Barat. Menjadi “yang terbaik” karena dibagikan di saat pembaretan. Saat-saat berpadunya puncak kelelahan dan kegembiraan.

Kini, di hadapannya tergeletak sekotak nasi lengkap dengan lauk yang enak. Apa daya, tubuh kotor, tangan kotor, pakaian kotor, duduk di hamparan pasir pula.

Panitia mempersilakan para orang tua ikut lesehan di samping anaknya masing-masing. Para ibu pun sigap membukakan nasi kotak, lalu menyuapkan nasi putih beserta lauk ke mulut sang putra. Tangis pun tak dapat dibendung. Terkenang kembali, saat-saat sang ibu menyuapi buah hatinya di usia balita dulu.

Kini, setelah anaknya menjadi prajurit Kopassus, Tuhan memperkenankannya mengulang moment-moment paling membahagiakan dalam hidup dan kehidupan seorang ibu: Menyuapi anak kesayangan.

Debur ombak Laut Selatan, menjadi saksi moment tumpahnya seluruh restu sang ibu bagi sang putra, demi mengawal bangsa dan negara. Komandooo…(*)

 

**Penulis adalah wartawan senior, pegiat budaya dan media

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here