Refleksi di Momentum Peringatan Hari Guru Nasional

891

Oleh: Dr. Muslich Taman, M.Pd.I (Guru dan Aktivis Pendidikan)

Berbicara Guru adalah berbicara elemen terpenting dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Guru adalah pendidik kedua bagi setiap manusia, setelah orangtua di rumahnya. Mereka menghadapi tantangan, sebagaimana tantangan yang dihadapi setiap orangtua (Ahmad Tafsir, 2013: 119).

Guru, hendaknya menjadi sosok terdepan dalam kebaikan, di hadapan para muridnya, dan masyarakat tempat sang guru berada. Lebih dahulu berbuat, sebelum berucap. Mengutamakan teladan dengan perbuatan, daripada sekadar mengajar dengan ucapan.

Terkait pentingnya keteladanan, Rasulullah SAW pernah mengingatkan. Diriwayatkan dari sahabat Abu Zaid Usamah bin Zaid bin Haritsah ia berkata, saya mendengar Rasulullah bersabda, “Ada seseorang yang didatangkan pada Hari Kiamat, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka, hingga ususnya terburai keluar. Ia berputar-putar di neraka layaknya keledai mengitari alat penumbuk gandum. Kemudian penduduk neraka mendekatinya.”

BACA JUGA: Memaknai Hari Pahlawan

Mereka mengatakan, ‘Hai Fulan! Bukankah dulu engkau orang yang memerintahkan kami pada kebaikan dan mencegah kami dari kemungkaran?” Ia menjawab: ‘Benar, dulu aku memerintahkan kalian kebaikan, namun aku tidak melakukannya. Dan aku mencegah kalian dari kemungkaran, namun aku justru melakukannya.” (HR. Ahmad).

Guru adalah jembatan masa depan. Ujung tombak kemajuan dan kejayaan bangsa. Pilar peradaban dan tiang penyangga bagi agung dan mulia kehidupan. Karena itulah, tak heran saat keadaan Jepang luluh lantak akibat bom atom di Nagasaki dan Hiroshima.

Apa yang dilakukan pemimpin Jepang saat itu? Apakah menyerah dan putus asa? Atau, berpikir untuk mengimpor senjata dan tank baja? Jawabannya, “Tidak!” Kaisar Hirohito justru menanyakan berapa jumlah guru yang masih hidup? Sang Kaisar juga bukan bertanya, berapa jumlah tantara yang gugur karena perang?

BACA JUGA: Mengokohkan Jiwa Pancasila di Hari Kelahirannya

Tentu, pertanyaan sang Kaisar membuat para jenderal merasa aneh ketika itu. Mereka menganggap tanpa guru, Jepang mampu menyelamatkan dan melindungi Kaisar. Mereka benar-benar heran mengapa sang Kaisar justru mempertanyakan jumlah guru yang masih hidup, bukan keadaan militer.

Hingga Kaisar Hirohito pun menjelaskan, bahwa Jepang telah jatuh dan porak poranda. Kini Jepang harus bangkit, tidak boleh putus asa dan menyerah, serta mesti banyak belajar. Keadaan semacam inilah yang membutuhkan para guru.

Para guru yang tulus berkorban dan mengajar. Para guru yang sanggup berjuang untuk bangsa dan negaranya. Para guru tangguh yang siap bekerja keras. Dan mereka itulah guru yang sangat dibutuhkan dalam setiap kesempatan. Guru yang siap mengabdi demi kemajuan bangsanya.

Kaisar berpendapat, kalau rakyat tidak dapat belajar, bagaimana mungkin mereka akan mengejar ketertinggalan mereka dan bangkit dari keadaan yang ada. Dan bagaimana mereka bisa belajar, kalau tidak ada guru yang mau mengajar dan jumlahnya cukup. Nah, karena alasan itulah sang Kaisar menanyakan tentang berapa jumlah guru yang masih hidup? Baginya, guru adalah kunci kebangkitan dan kejayaan masa depan setiap bangsa.

BACA JUGA: Menepis Badai Pandemi, Menuai Hikmah Pendidikan Masa Depan

Pada momen peringatan Hari Guru Nasional tahun ini, hal terpenting bagi para guru adalah melakukan refleksi: Pertama, apakah dirinya sudah bersyukur dan bangga menjalani profesi sebagai guru atau belum?

Setiap guru harus bersyukur dan bangga dengan profesi yang telah dipilih dan dijalaninya. Sembari rasa kesyukuran dan kebanggaan yang ada, diikuti sikap penuh tanggung jawab untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Bersyukur dan bangga, karena profesi yang dijalaninya adalah profesi kenabian, dan kelak menjadi investasi akhirat yang sangat berharga, insya Allah.

Kedua, bermuhasabah (introspeksi diri) atas profesi yang dipilihnya. Apakah selama ini hanya sekadar rutinitas, sebatas kerja mencari materi, setiap hari berangkat ke tempat mengajar lalu pulang?

Atau ia telah dijalani dengan sungguh-sungguh, tulus, penuh tanggung jawab, disadari sebagai perjuangan menegakkan amanah? Sehingga, senantiasa dibarengi kerja-kerja besar yang melampaui tugasnya, doa-doa ikhlas untuk kesuksesan para anak didiknya, dan semangat diri meningkatkan kualitas kompetensinya.

BACA JUGA: Puasa, Perisai Diri dan Tangga Menujut Takwa

Selain mengajar, guru juga mesti terus belajar. Bukankah, guru yang berhenti belajar, saatnya ia berhenti mengajar. Kenapa? Karena zaman begitu cepat berubah. Dan guru, secara otomatis dituntut harus mampu menyesuaikan dan mengawal perubahan itu.

Ketiga, sudahkah mendidik karakter dengan karakter? Itulah hal penting yang dituntut dari mereka, dulu, kini, dan nanti. Guru bukan hanya transfer of knowledge, tetapi juga internalization of values. Dan, itu hanya terjadi dengan dan oleh guru-guru yang berkarakter dan memiliki karakter.

Sesungguhnya, manusia menjadi manusia bukan karena jasmaninya, tetapi terutama karena jiwanya. Barkarakter.

Menurut Imam Al Ghazali, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh setiap guru: 1) Guru harus ‘menyayangi’ muridnya, sebagaimana ia menyayangi anaknya sendiri. 2) Guru hendaknya menjadi teladan kebaikan bagi muridnya.

Bahkan, guru harus berusaha meneladani akhlak mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah, dan mengajarkan kepada muridnya. 3) Tidak merendahkan ilmu. 4) Mengajarkan ilmu secara bertahap, sesuai tingkat kematangan dan daya tangkap muridnya. 5) Perkataannya tidak boleh bertentangan dengan perbuatannya.

Inilah tulisan sederhana sebagai ‘Kado Spesial’ di hari spesial, untuk semua Guru Hebat di seluruh penjuru negeri. Guru di bangku formal sekolahan, maupun di alam bebas semesta kehidupan. Untuk semua Guru Inspiratif yang telah menerangi pikiran dan hati para muridnya, demi kebahagiaan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here