Quraish Shihab: Kematian adalah Pintu Menuju Kesempurnaan

Catatan Tahlilan Hari Ketujuh AGH Prof. K.H. Ali Yafie

537
Prof. Quraish Shihab.

Oleh: Saidiman Ahmad

Tahlilan hari ketujuh Anregurutta Prof. K.H. Ali Yafie diisi ceramah takziah oleh Anregurutta Prof. Quraish Shihab. Pak Quraish, demikian panggilan yang biasa digunakan untuk beliau, memulai ceramah dengan menyatakan bahwa para sahabat dan murid Kiai Ali Yafie memiliki pengalaman interaksi berkesan dengan gurutta karena bernilai tinggi.

“Masing-masing kita punya pengalaman yang sangat berharga dengan almarhum,” kata penulis Tafsir Al Misbah tersebut.

Pendiri sekaligus Direktur Pusat Studi Qur’an (PSQ) itu mengemukankan dua pengalaman penting bersama almarhum. Pertama, kata Pak Quraish, Prof. Ali Yafie memiliki sikap yang sangat rendah hati.

Pak Quraish mencontohkan bagaimana gurutta Ali Yafie, jika meminta bantuan, selalu dilakukan dengan sangat halus. Beliau selalu menjaga agar permintaan bantuan itu tidak dimaknai sebagai perintah dan sedapat mungkin tidak memberatkan.

“Kalau menyuruh, sangat halus. Dia beri anda kesempatan untuk menolak,” jelas mufassir terbesar yang pernah dimiliki Indonesia itu.

Kalau mau minta tolong antar surat, misalnya, beliau akan bilang, “kalau pulang nanti mampir di kantor pos, ngga? Kalau dijawab ya, beliau baru akan berkata “tolong mampir (untuk antarkan surat ini).”

Kedua, dalam diskusi atau forum bincang-bincang, tidak jarang ada pendapat yang tidak disetujui. Tapi gurutta Ali Yafie tidak akan langsung berkata bahwa dia tidak setuju atau langsung menyangkal pandangan yang tidak disetujuinya itu.

Beliau akan mengemukakan pandangan berbeda dengan terlebih dahulu bertanya: “Bagaimana kalau ada orang yang berkata begini?” Padahal orang yang berkata “begini” itu adalah Kiai Ali Yafie sendiri.

Sikap halus dan rendah hati itu, menurut Pak Quraish, adalah cerminan dari seorang alim, seorang yang memiliki kedalaman ilmu pengetahuan. Seorang alim, lanjut Pak Quraish, memiliki derajat yang sangat tinggi.

Pak Quraish mengutip perkataan seorang sufi, Hasan Basri,: “Wafatnya seribu orang ahli ibadah lebih ringan dari wafatnya seorang alim.”

Rasa kehilangan atas wafatnya seorang alim bukan karena dia tidak ada secara fisik, tapi karena ilmunya tidak ada lagi. Kehadiran fisiknya masih bisa disaksikan ada pada keluarga dan keturunannya.

Yang hilang dari wafatnya seorang alim adalah ilmunya atau produksi pengetahuan darinya. Kehilangan akan sumber ilmu dari seorang alim terasa sangat berat karena itu adalah warisan Nabi.

“Yang hilang dari kita adalah ilmunya, akhlaknya. Sosoknya ada,” jelas penulis buku Membumikan Al-Quran tersebut.

Lebih jauh, pengasuh rubrik tanya jawab agama di Jurnal Ulumul Qur’an itu menyatakan bahwa kematian adalah kemestian, tapi bukan ketiadaan.

Bagi Pak Quraish, mati itu nikmat. Kematian membuat seseorang melanjutkan evolusinya. Ayah Najwa Shihab itu mengatakan evolusi dari kematian sama seperti anak ayam dalam telur.

Telur adalah alam tersendiri bagi ayam. Anak ayam harus keluar dari telur untuk menjadi lebih sempurna. Pecahnya cangkang telur bukan akhir bagi anak ayam, tapi permulaan kehidupan baru yang lebih tinggi. Keluar dari alam dunia adalah proses menuju kesempurnaan.

“Kita tidak bisa mencapai proses kesempurnaan kecuali meninggal,” kata Mantan Rektor IAIN Jakarta itu.

Pak Quraish menjelaskan bahwa kesempurnaan bukan hanya fisik, tapi juga mental. Bayi dalam rahim lahir menjadi melihat. Sebelumnya mereka melihat dengan cara yang berbeda. Mereka makan juga dengan cara yang berbeda. Keluar dari alam rahim, mata dan mulut fisik menjadi lebih sempurna.

Hal yang sama terjadi pada proses keluar dari alam dunia. Kematian bukan akhir, tapi proses penyempurnaan. Di dunia, manusia memiliki penglihatan. Mati menyempurnakan penglihatan tersebut. Mata menjadi lebih terang. Mereka yang sudah meninggal jadi mampu melihat alam barzah. Mereka bisa melihat malaikat.

Dalam Quran, lanjut Pak Quraish, ada banyak kosakata untuk menggambarkan kematian: maut, wafat, ajal, halaka, raja’, raybal manun, dan qadha nahbahu.

Qadha nahbahu, kata Pak Quraish, berarti sudah selesai tugasnya. Gurutta Ali Yafie sudah selesai tugasnya, mengajar, mengabdi, berbuat baik, dan seterusnya.

Orang-orang baik seperti Kiai Ali Yafie, menurut Pak Quraish, ada kalanya semasa hidupnya beliau menanti kematian karena di sana jauh lebih indah dari kehidupan ini.

“Yang menanti di sana adalah aneka nikmat Tuhan,” jelas Pak Quraish.

Orang-orang mukmin, kata Pak Quraish, ketika wafat, membuktikan kebenaran dari apa yang dijanjikan. Buat yang masih hidup, itu alam ghaib. Namun bagi yang sudah meninggal, itu bukan ghaib lagi.

Menurut Pak Quraish, semua yang sudah mati bisa melihat baik alam akhirat maupun dunia. Dia menyitir ayat Al-Quran yang menyebut setiap pagi dan petang, neraka diperlihatkan pada Fir’aun. Karena itu, dia sudah tersiksa di alam kuburnya.

Mereka yang sudah mendahului kita juga masih bisa melihat kehidupan dunia.

“Ali Yafie masih bisa lihat kita,” kata Pak Quraish.

Karena itu Al-Quran mengajarkan “Jangan permalukan keluargamu yang sudah meninggal dengan perbuatanmu yang buruk.”

Kepercayaan pada alam barzah dan akhirat terkait dengan iman, jelas Pak Quraish. Dan iman terkait dengan hati, bukan dengan akal. Iman adalah pembenaran hati, bukan pembenaran akal.

“Anda perlu percaya bukan karena anda tahu, tapi karena anda tidak tahu,” tegas Pak Quraish.

Pak Quraish melanjutkan bahwa cerita mengenai alam setelah mati adalah cara agama untuk membangkitkan optimisme. Ini gambaran untuk menjadikan kita optimistis. Kematian bukan akhir, melainkan pintu bagi kehidupan yang lebih baik dan lebih sempurna. Dunia banyak kekurangan. Hidup di sini ruwet. Di sana tenang dan damai.

Di bagian akhir, Pak Quraish mengingatkan untuk jangan pernah merasa apa yang kita miliki adalah milik kita. Kalau ada yang kehilangan, kalau milik orang lain, kita tidak akan sedih.

“Jangan menganggap apa yang ada pada anda sebagai milik anda,” tegasnya.

Ini salah satu makna dari ungkapan “Inna lillah wa inna ilaih rojiun.” Ungkapan ini memberi pesan agar yang ditinggalkan bersikap legowo. Karena semua yang pergi itu bukan milik kita.

“Kita memang kehilangan, tapi yakinlah, kita akan kembali bertemu,” pungkas Pak Quraish. (*)

Suasana tahlilan wafatnya Prof. K.H. Ali Yafie.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here