Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-159)

VIII. Nabi Zakariya, Yahya, ‘Iysaa, Kehancuran Haekal Sulaiman (Masjidil Aqsha) yang Kedua dan Kemunculan Nashara, Kristen dan Katolik.

330
Lukisan perang Romawi dengan suku Germanik Aleman. Orang Romawi menyebut musuhnya sebagai kaum Barbar. (Sumber: Pinterest)

Oleh: Agus Mualif Rohadi (Pemerhati Sejarah)

Valentinianus sibuk mengatasi serbuan aliansi suku suku Germanik Aleman yang disebut oleh orang roma sebagai kaum bar bar. Dia bisa mengatasi orang-orang Aleman dengan kurban pasukan dalam julmah yang besar, namun hanya berhenti perang dan tidak bisa mematahkan peperangan.

Sedang Valens sangat sibuk mengatasi serangan orang-orang Goth yang merangsek berusaha mengambil wilayah timur mperium. Valens membutuhkan waktu 3 tahun dalam perang yang menghabiskan banyak energi untuk menghadapi gempuran. Peperangan panjang memaksa kedua pihak mengambil nafas menghentikan peperangan dalam keadaan tidak ada yang menang mapun kalah.

Ketika Valentinianus sibuk memerangi kaum yang disebutnya kaum bar bar germanik Aleman, pada saat yang sama wilayah Roma di daratan Britania selatan diserbu oleh orang-orang Saxon.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-158)

Pasukan Romawi di Britania dapat dikalahkan yang berakibat banyak kurban dari pasukan Roma. Valentinianus kemudian mengirim pasukan yang dipimpin jendral tua berpengalaman yaitu Theodosius yang membawa anaknya Flavius Theodosius untuk menjadi wakilnya. Theodosius membutuhkan waktu satu tahun untuk menguasai Britania lagi.

Serangan barbar germanik Aleman dan Goth mendorong dua raja mitra imperium RRomawi yang bersaudara harus berdamai dengan Aleman maupun Goth dengan kompensasi pemberian wilayah pemukiman.

Situasi tenang dan damai memberi kesempatan pada Valentinianus mengerahkan tentara dan pekerja untuk membangun benteng di utara danau Donau. Namun di tengah-tengah pembanguna terdapat peristiwa yang mengakibatkan terjadinya peperangan sengit antara tentaranya dengan suku Germanik Quadi.

Valentinius terpaksa memanggil Theodosius untuk mengatasi perlawanan suku Quadi. Namun hanya karena kesalahan kecil yang diperbuat oleh Theodosius berakibat dihukum mati oleh Valentinianus sedang anaknya, Flavius Theodosius dikirim ke Spanyol.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-157)

Saat perang semakin berlarut, ada utusan dari suku Quadi yang menjelaskan bahwa mereka sebenarnya tidak ingin berperang dengan Valentinus, tetapi mereka marah dan menyerang karena pasukan penjaga pembangunan benteng itu telah membunuh kepala sukunya tanpa sebab. Penjelasan itu membuat Valentinianus menjadi sangat kaget, kemudian mengalami serangan jantung yang membuatnya langsung meninggal.

Mungkin karena kaget dan menyesal karena telah menghukum mati panglima tuanya untuk suatu alasan perang yang tidak perlu. Valens kemudian mengangkat Gratianus anak Valentinianus menjadi raja menggantikan bapaknya. Gratianus langsung memanggil kembali Flavius Theodosius sekaligus sebagai rehabilitasi nama bapaknya yang tidak pantas dihukum mati.

Setelah menyelesaikan masalah orang-orang Quadi di sekitar danau Donau, Gratianus berniat membantu pamannya di timur yang juga menghadapi peperangan melawan orang Goth. Namun Gratianus belum sampai di medan perang kemudian terdengar kabar tentang pamannya, Valens meninggal dalam peperangan dengan orang-orang Goth dengan tubuh yang rusak sehingga sulit dikenali.

Namun orang-orang Goth tidak mampu menembus tembok Hadrianopel yang mengamankan wilayah timur. Peperangan dengan suku suku Germanik menunjukkan bahwa imperium Romawi sedang dalam keadaan lemah dan dapat dikalahkan. Raja-raja Romawi berganti ganti dengan cepat akibat mati dalam peperangan.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-156)

Gratianus menunjuk Flavius Theodosius yang telah membuktikan kesetiannya pada kaisar menjadi penguasa wilayah timur sebagai wali dari adiknya yang masih berumur tujuh tahun yaitu Valetinianus II pada tahun 378.

Keberuntungan menghinggapi Flavius Theodosius karena musuh utamanya yaitu Shapur Agung raja Persia meninggal karena umur tua. Pengganti Shapur Agung, yaitu Ardhasir II justru sibuk untuk mengamankan tahtanya sehingga perhatiannya pada Roma menjadi berkurang. Ancaman pada wilayah bizantium dari timur untuk sementara berkurang.

Di Roma, Gratianus menghadapi perselisihan dengan para senator yang beragama Romawi. Perselisihan sengit itu membuat Gratianus membongkar Mezbah Victoria, mezbah agama Romawi dari Gedung senat. Ia juga menghapus gelar Pontifex Maximus dari daftar gelarnya yang berarti kaisar tidak lagi menjadi pelindung agama Romawi.

Busana Pontifex Maximus tidak pernah lagi dipakainya. Dengan demikian Gratianus telah membuang agama Romawi, membuang para dewa Roma dari istananya. Sejak saat itu, agama Romawi sudah tidak lagi menjadi salah satu agama utama di imperium Roma.

Di Timur, tidak adanya peperangan membuat perselisihan antara pengikut Athanasius dengan Arius mencuat lagi ke permukaan. Perselisihan yang sangat sengit di semua percakapan penduduk itu membuat Theodosius pada tahun 380 M memaklumkan Kristen dengan paham Nicaea adalah satu-satunya iman yang benar. Yang menentang maklumat itu akan dihukum.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-155)

Pengumuman Theododius tentang Iman satu-satunya yang benar dan dibarengi dengan memunculkan peraturan tentang gereja Kristen satu-satunya pula, yaitu Gereja Kristen Bersatu atau Gereja Universal, berlaku untuk semua, yang kemudian disebut Gereja Katolik. Flavius Theodosius dengan demikian dapat dikatakan sebagai pimpinan militer yang mendirikan Katolik.

Namun meskipun sudah ada pengumuman tersebut, Theodosius tetap di hadapkan pada siatuasi perbedaan yang sangat dalam yang tidak mungkin ditemukan karena perbedaan tersebut adalah perbedaan pemahaman tentang tuhan yang berimplikasi pada semua perbedaan dalam kehidupan dan meyangkut keyakinan kehidupan setelah kematian.

Jumlah pengikut Arius yang sangat besar membuat Theodosius tidak bisa melaksanakan ancaman hukumannya kepada penduduknya sendiri. Arianisme masih tetap hidup, dan peraturan tersebut hanya meredakan keributannya saja.

Apalagi kemudian terdapat perbedaan yang tajam pada internal Gereja Katolik, ketika Flavius Theodosius mengumumkan kedudukan Uskup Konstantinopel adalah setara dalam hal kekuasaan dengan Uskup Roma. Mungkin Theodosius melihat fakta bahwa Septhuaginta dituliskan dalam Bahasa Yunani.

Theodosius mungkin ingin memberikan penghargaan yang sepatutnya pada bangsa Yunani dan penduduk berbahasa Yunani sehingga menjadikan Konstantinopel sebagai simbul yang sepatutnya bagi sejarah kemunculan Kristen. Mungkin Theodosius juga ingin memberikan kekuatan yang lebih bagi uskup konstantinopel untuk membendung Arianisme. Namun pengumuman Theodosius tersebut memunculkan reaksi keras dari uskup Roma dan uskup uskup pusat kekristenan lainnya.

BERSAMBUNG

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here