Misi Diplomatik Republik Indonesia di Mesir (Bagian 4/Habis)

851

Presiden Sukarno Terheran-heran

PAGI-PAGI tanggal 19 Juli 1947, saya terbang ke Yogyakarta bersama Perdana Menteri Amir Sjarifuddin untuk melaporkan kunjungan delegasi ke Mesir dan hasil-hasil yang dicapai, kepada sidang kabinet.

Presiden Sukarno merasa heran sekali melihat semua dokumen masih tetap utuh dalam sampul yang dilak (dilem). Hal itu hanya mungkin terjadi jika tidak terkena pemeriksaan, padahal airport Kemayoran sedang dijaga ketat oleh Polisi Militer. “Bagaimana kok bisa begitu, Saudara Baswedan?” tanya Bung Karno. Saya jawab singkat saja: “Untung.”

Bersama dengan jawaban singkat itu ingatan saya melayang ke sebuah rumah kecil di luar kota Kairo. Kepada seorang pahlawan kemerdekaan di pengasingan yang bernama Amir Abdulkarim.

Siang itu juga saya langsung kembali ke rumah di Sala, dan bertemu keluarga. Begitu menggembirakan reuni keluarga itu, apalagi melihat putri yang baru saja dilahirkan beberapa hari sebelumnya. Bayi itu saya beri nama Luqyana yang berarti “Pertemuan Kita”.

Beberapa tahun yang lalu, kepada seorang pejabat tinggi di pemerintahan Orde Baru saya usulkan agar kepada orang-orang di Mesir yang berjasa dalam masalah Perjanjian Persahabatan, selagi mereka masih hidup, diberikan penghargaan.

Paling sedikit pemerintah kita mengirim undangan agar mereka hadir pada upacara peringatan 17 Agustus di Istana Negara. Usul itu diterima baik. Akan tetapi, sesudah sekian tahun, setelah orang-orang yang berjasa itu menjadi almarhum, usul itu tidak juga dilaksanakan. []

Sumber: Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim, Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1984, halaman 140-151.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here