Mengenang Kasman Singodimedjo

2334

Hidup Adalah Perjuangan

Kasman Singodimedjo lahir di Purworejo, Jawa Tengah 25 Februari 1904. Semasa muda remaja Kasman aktivis Jong Islamieten Bond, salah satu organisasi penopang Sumpah Pemuda 1928. Kemudian dia menjadi guru serta pengurus Muhammadiyah. Kasman banyak berkontribusi dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan. Menjelang Proklamasi 1945 Kasman ditunjuk menjadi Komandan Batalyon (Daidancho) Pembela Tanah Air (PETA) Jakarta. Dia adalah Daidancho paling senior ketika itu. Pada 18 Agustus 1945 diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merumuskan Undang-Undang Dasar 1945.

Jenderal TNI (Purn) Dr. A. H. Nasution dalam buku 75 Tahun Kasman Singodimedjomengemukakan, “Di waktu sekitar Proklamasi adalah lazim kami di kalangan pemuda menyebut Soekarno – Hatta -Kasman, dimana Bapak Kasman Singodimedjo  dirasakan sebagai tokoh militer yang terdepan ketika itu, sebagaimana kombinasi tiga nama ini  berkali-kali  terdapat  dalam  buku TNI yang saya  tulis  di  tahun 1953.”

Dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan, Nasution menyebut,  “hanya dengan pimpinan Soekarno-Hatta-Kasman Singodimedjo rakyat dapat digerakkan secara massal, dan kegiatan tanpa disertai ketiga pemimpin ini, dewasa itu akan merupakan suatu gerakan yang hanya setengah-setengah saja,” bahwa “dewasa itu sangat diperlukan pimpinan dari yang telah memegang kepercayaan rakyat dan tentara serta telah mempunyai kedudukan berkomando, yakni Soekarno-Hatta-Kasman Singodimedjo,” dan bahwa “perwira-perwiranya (PETA) taat sepenuhnya kepada Kasman Singodimedjo dan Soekarno-Hatta, sedangkan yang muda-muda banyak yang telah menggabungkan diri dengan pemuda-pemuda revolusioner.”

Ketika ibukota RI Yogyakarta diserang dan diduduki tentara Belanda dalam Agresi Militer II 19 Desember 1948, dimana para pemimpin Republik ditawan, Kasman sebagai Juru Bicara Pemerintah Pusat berkeliling, seringkali dengan berjalan kaki, ke basis-basis Republik di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk memberikan penerangan bahwa meskipun Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan para menteri ditawan oleh Belanda, roda pemerintahan Republik Indonesia masih terus berjalan. Dia mengobarkan semangat rakyat untuk terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Ketika pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) tanggal 20 Agustus 1945, Otto Iskandar Dinata ditunjuk menjadi Kepala BKR dan Kasman Singodimedjo sebagai Wakil. Oleh karena Otto Iskandardinata tidak pernah datang, diduga hilang atau gugur di daerah Tangerang, maka praktis Kasman memimpin BKR yang merupakan bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pada 29 Agustus 1945, Kasman terpilih menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). KNIP adalah parlemen pertama di era kemerdekaan. Kasman memimpin KNIP sampai 15 Oktober 1945 dan kemudian menyerahkan jabatan itu kepada Sutan Sjahrir. Kasman kemudian diangkat menjadi Jaksa Agung menggantikan Jaksa Agung yang pertama Mr. Gatot, yang tinggal di Purwokerto namun belum sempat efektif menjalankan tugas karena situasi waktu itu. Sebagai Jaksa Agung dengan masa jabatan cukup singkat, Kasman mengeluarkan Maklumat Jaksa Agung No 3 tertanggal 15 Januari 1946 yang ditujukan kepada para Gubernur, Jaksa, dan Kepala Polisi. Isu maklumat tersebut mengajak para pejabat kejaksaan untuk membuktikan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yaitu negara yang selalu menyelenggarakan pengadilan yang cepat dan tepat.

Setelah berhenti dari jabatan Jaksa Agung, Kasman ditunjuk menjadi Kepala Urusan Kehakiman dan Mahkamah Tinggi pada Kementerian Pertahanan RI dengan pangkat Jenderal Mayor. Selanjutnya diangkat menjadi Kepala Kehakiman dan Pengadilan Militer pada Kementerian Pertahanan. Jabatan terakhirnya di pemerintahan adalah sebagai Menteri Muda Kehakiman dalam Kabinet Amir Sjarifuddin II. Pada Pemilihan Umum 1955 dia terpilih menjadi anggota Majelis Konstituante dan diberi amanah menjadi Ketua Fraksi Islam yang merupakan gabungan dari anggota Partai Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Partai Islam PERTI  di Konstituante.  Kasman aktif di partai Masyumi sampai Masyumi membubarkan diri pada tahun 1960. Selama puluhan tahun Kasman aktif di dalam organisasi Muhammadiyah.

Sebagai politisi Kasman Singodimedjo tidaklah berpolitik untuk mencapai tujuan dan kepentingan pribadi, apalagi sekadar untuk memperkaya diri. Kasman berpolitik berdasarkan cita-cita dan keyakinan sebagai seorang Muslim yang mencintai tanah air. Kasman pernah mengalami ditangkap dan ditahan di masa Orde Lama dan dicekal di masa Orde Baru.

Sikap kritis Kasman di masa Orde Baru antara lain mengajukan Petisi mengenai pemilihan umum, dan Pernyataan Keprihatinan (Petisi 50) yang mengeritik dua pidato Presiden Soeharto pada awal 1980, dan yang menyebabkan hak-hak sipilnya diberangus oleh penguasa. Ketika Presiden Soeharto pada 12 Agustus 1992 menganugerahkan Bintang Mahaputera kepada para mantan anggota BPUPK dan PPKI, nama Kasman Singodimedjo sengaja dilewati.

Segala risiko tidak menyebabkan Kasman surut dari garis perjuangan. “Seorang Muslim – kata beliau – harus berjuang terus karena hidup itu adalah perjuangan. Seorang Muslim harus berjuang terus, betapa pun keadaannya lebih sulit dari sebelumnya. Adanya kesulitan-kesulitan itu tidak membebaskan seorang Muslim untuk berhenti berjuang, bahkan ia harus berjuang lebih gigih daripada waktu lampau dengan strategi tertentu dan taktik yang lebih tepat dan sesuai.”

Di mata Mohammad Natsir, “Kasman Singodimedjo adalah orang yang rela berkorban dan rela menderita demi untuk kepentingan perjuangan bagi agama dan bangsa.” Sebagaimana disimpulkan oleh Lukman Hakiem dalam tulisan Menapaki Jejak Trio Ulama-Patriot Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo,dan K.H. Abdul Kahar Mudzakkir (2015) bahwa Mr. Kasman Singodimedjo bagai ditakdirkan untuk selalu tampil sebagai perintis di saat-saat kritis. Kasman Singodimedjo adalah seorang nasionalis yang memperjuangkan tegaknya Islam, sekaligus pemimpin Islam yang berjuang untuk kepentingan nasional. Dia seorang politikus yang sekaligus seorang pekerja sosial. Dia seorang cendekiawan yang selalu berada di tengah-tengah rakyat. Dia seorang intelek sekaligus seorang kiai. Lebih dari itu semua, Kasman adalah seorang pejuang tanpa pamrih yang nyaris dilupakan oleh bangsanya

Mengutip Jenderal A.H. Nasution, keterampilan ikut memimpin negara dan tentara pada saat-saat yang amat kritik  itu, tidak akan datang dari “pemimpin-pemimpin rutin.” Tugas memimpin di masa-masa kritik pasti jauh lebih berbahaya dan lebih menentukan bagi nasib bangsa, dibanding dengan di masa negara dan tentara telah tegak terkonsolidasi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here