Menata Hati di Bulan Suci

687

Oleh: Dr. H. Serian Wijatno (Ketua Umum Persatuan Islam Tionghoa Indonesia/Pengurus Pusat DMI).

Saat ini kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia sedang menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh berkah dan rahmat.

Kaum Muslimin pasti menantikan bulan suci ini karena bulan Ramadhan membawa rahmat, ampunan, perlindungan, serta membawa kita semakin dekat dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim.

Karena itu tak bisa dipungkiri bahwa bulan Ramadhan merupakan waktu tepat bagi kita melakukan introspeksi untuk melihat bagaimana kadar ibadah kita kepada Allah, serta bagaimana kadar kepedulian kita kepada sesama selama ini.

Introspeksi di bulan suci menjadi momen yang mampu mengubah kita menuju pribadi yang baik khususnya dalam menata hati dan mengendalikan hati untuk meraih keberkahan Ilahi.

Pentingnya menjaga hati dan lisan, terlebih di bulan suci Ramadhan adalah sangat penting, mengingat hal itu sudah disabdakan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasadmu, dan tidak pula kepada bentukmu, akan tetapi Dia melihat kepada hati kamu, kemudian menunjuk ke dadanya dengan telunjuknya,” (HR. Muslim, no 2564).

Di dalam sebuah hadits yang lain, Rasulullah SAW juga bersabda sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang bersumber dari Anas bin Malik, yang artinya: “Iman seseorang tidak akan lurus (benar) sebelum hatinya lurus,” (HR. Ahmad, no. 13079).

Dalam melaksanakan shaum atau puasa di bulan suci Ramadhan ini, kita juga harus menaati adab-adabnya.

Nah, salah satu adab berpuasa di bulan suci ini adalah menjaga lidah dan anggota tubuh dari perbuatan yang zhalim dan melanggar syariat. Lidah dan anggota tubuh lainnya dapat terhindar dari perbuatan zhalim jika hati kita terjaga dengan baik.

Karena itu, hati yang terjaga baik akan menghasilkan lisan yang baik pula seperti terhindari kita dari kata-kata berdusta.

Disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits Riwayat Al-Bukhari yang artinya:
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan melakukannya, maka Allah tidak butuh jika ia meninggalkan makan dan minumnya,” (HR. Al-Bukhari).

Ini bermakna utama bahwa puasa di bulan suci adalah ‘puasa’ dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT, yaitu dengan cara menjaga lisan dari berkata buruk, ghibah, mencemooh, dan sebagainya.

Oleh karena itu, jika seseorang yang berpuasa tetap tidak bisa menjaga lisannya, maka pahala puasanya tentu menjadi kurang sempurna.

Menjaga lisan dari perbuatan ghibah, namimah, dan sebagainya, merupakan suatu keniscayaan bagi umat Islam yang menginginkan pahala puasanya sempurna.

Rasulullah SAW sendiri telah mewanti-wanti bahwa ghibah, namimah, berbohong, bisa menggugurkan pahala puasa. Beliau bersabda yang artinya:

“Lima hal yang bisa menggugurkan pahala orang berpuasa; membicarakan orang lain, mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu,” (HR. Ad-Dailami)

Selain itu, ghibah sendiri merupakan perbuatan tercela yang dalam Al-Quran disebut bahwa pelaku gibah diumpamakan seperti orang yang memakan daging orang yang digibahinya.

Allah SWT berfirman, yang artinya: “Janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang,” (QS. Al-Hujurat: 12).

Merenungi dalil-dalil tersebut di atas terbukti betapa pentingnya menata hati, menjaga hati agar lisan dan bagian tubuh lain terhindar dari perbuatan zhalim. Karena hati yang jernih dan mulia membawa kita pada pribadi yang mulia pula baik dari tindakan maupun ucapan.

Semoga Allah SWT  memberi petunjuk kepada kita, menyembuhkan segala penyakit hati, dan menyabarkan hati kita. Aamiin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here