Kiai Said: Dua atau Tiga Periode Tidak Penting Terserah Parpol

332

Jakarta, Muslim Obsession – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj tak mau terlalu pusing menyikapi isu amandemen UUD 1945 yang mengatur jabatan presiden menjadi tiga periode.

Menurutnya, jabatan dua atau tiga periode tidak penting. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada partai politik. “Dua periode, tiga periode enggak penting, terserah itu kesepakatan partai politik,” kata dia, dalam wawancara di Blak-blakan bersama detik, Senin (6/9/2021).

Menurutnya, amendemen konstitusi mengenai batas masa jabatan presiden itu merupakan urusan partai politik dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Bagi Said, masa jabatan presiden dua atau tiga periode bukan hal yang prinsipil. Menurutnya, yang terpenting dari masa jabatan tersebut adalah pro dengan rakyat.

“Bagi fiqih Islam bukan policy, mau dua periode, tiga periode yang penting adil, jujur, amanah, pro rakyat. Itu yang penting,” ujar Said.

Kiai Said mengaku pernah bertemu dengan Ketua MPR Bambang Soesatyo. Ia juga bertemu Menteri Koordinator bidang Perekonomian sekaligus Ketua Umum PArtai Golkar, Airlangga Hartarto.

Pertemuan itu mendiskusikan persoalan amendemen. Namun, forum tersebut hanya bersifat pribadi, bukan agenda resmi PBNU dengan MPR.

“Informal saya ketemu dengan Pak Bamsoet, berbincang-bincang [soal amendemen] iya, ketemu Pak Airlangga berbincang-bincang iya, tapi informal, secara pribadi saja,” tuturnya.

Said mengatakan, pada saat Bamsoet bertamu ke kantor PBNU, ia menunjukkan hasil keputusan musyawarah ulama nasional tahun 2013 di pondok pesantren Kempek, Cirebon.

Keputusan itu menyarankan agar presiden, gubernur, bupati/wali kota kembali dipilih oleh MPR, DPR, atau DPRD.

“[Keputusan ulama itu] sekadar masukan. Tapi tidak bisa sampai bicara presiden tiga periode, enggak, enggak sampai bicara ke situ, belum, belum ada isu itu,” ujarnya.

Said menegaskan keputusan musyawarah ulama itu bukan agenda politik. Hal itu merupakan hasil kajian berdasarkan kitab kuning.

Dalam musyawarah itu, kata Said, para ulama mempertimbangkan biaya yang tinggi (high cost) yang mesti dikeluarkan ketika para pemimpin eksekutif dipilih melalui pemilihan langsung.

“Melihat, menimbang, kenyataannya high cost, di samping cost duit, cost uang, cost financial, juga cost social. Risikonya sangat tinggi sekali, (bagi) umat Islam atau bangsa Indonesia,” kata Said.

Sebelumnya, wacana amendemen UUD 1945 menguat terutama pada Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus. Sejumlah ketentuan yang digadang-gadang diubah adalah soal Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) dan penambahan masa jabatan presiden. (Albar)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here