Anies dan Keadilan Sosial

810

Oleh: Ikhsan Kurnia (Mantan Aktivis Pelajar dan Mahasiswa)

 

Keadilan sosial (social justice) adalah salah satu prinsip atau asas dari ideologi bangsa Indonesia, Pancasila. Sebagai sebuah prinsip, maka ia (seharusnya) memiliki posisi yang lebih tinggi dari konstitusi. Oleh kerena itu, semua peraturan (regulations) dan kebijakan (policy) yang dibuat oleh negara, harus mengandung nilai (value) yang dideduksi dari prinsip tersebut. Jika yang terjadi sebaliknya, maka dapat dikatakan sebagai perbuatan yang melawan ideologi negara.

Jika kita berbicara mengenai keadilan sosial, maka negara harus memastikan bahwa setiap individu diberikan hak dan kesempatan yang sama baik secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh kesejahteraan dan perlakuan yang setara. John Rawls, seorang filsuf yang merumuskan theory of justice (1971) mengatakan bahwa keadilan itu each person possesses an inviolability founded on justice that even the welfare of society as a whole cannot override. Hampir semua gagasan tentang keadilan sosial menyoroti satu frase kunci: kesejahteraan masyarakat.

Dalam sejarahnya, keadilan sosial nyaris menjadi persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan yang abadi. Di setiap fase peradaban manusia, selalu saja muncul ketidakadilan, baik yang disebabkan oleh kekuasaan yang despotik maupun oleh rendahnya tingkat keadaban masyarakatnya. Namun, dalam sejarah manusia modern, tingkat keadaban dan penalaran umat manusia sudah relatif maju, sehingga ketidakadilan sosial lebih sering diakibatkan oleh hadirnya penguasa-penguasa yang zalim dan tidak adil.

Demikian pula dalam sejarah Indonesia modern, sejak era kolonialisme hingga reformasi, bangsa ini belum sepenuhnya terbebaskan dari kebijakan dan tindakan penguasa yang kerapkali tidak selaras dengan spirit keadilan sosial. Bahkan, tidak jarang nilai-nilai keadilan sosial dalam Pancasila hanya diekspresikan secara simbolik, tapi tidak mengaktualisasikan substansinya.

Meskipun demikian, sejarah mencatat bahwa sejak dahulu Tuhan tidak pernah absen mengirim utusan-utusannya untuk memperjuangkan keadilan sosial. Jika dahulu diutus nabi-nabi untuk memerangi penguasa despotik dan memperbaiki struktur yang menindas, maka di era modern ini peran para nabi itu digantikan oleh para pembaharu, oleh para aktivis dan para pejuang yang sadar serta insyaf akan tanggungjawab kemasyarakatan. Orang bijak mengatakan, setiap zaman ada tokoh pejuangnya, dan setiap tokoh pejuang ada zamannya. Namun, sejatinya ketokohan itu tidak pernah mati, selama para pejuang yang ada terus memperjuangkan nilai kebenaran dan keadilan. Meski raga mereka mati, warisan nilai-nilai keadilan akan terus hidup di setiap relung jiwa para pejuang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here