Abu Bakar Ba’asyir dan 7 ‘Orang Gila’ Jombang Versi Gus Dur

1325

Oleh: Yusuf Wibisono (Wartawan)

Kalau kata Gus Dur, Abu Bakar Baasyir merupakan salah satu dari tujuh “orang gila” yang berasal dari Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Siapa enam sisanya?

Lama tidak terdengar kabarnya, Abu Bakar Baasyir kembali menyita perhatian publik usai dibebaskan tanpa syarat dari LP (Lembaga Pemasyarakatan) Gunung Sindur, Bogor. Kontroversi pun terpantik. Ada pihak yang setuju, ada pula kelompok yang menggerutu.

Namun terlepas dari itu semua, meminjam istilah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Abu Bakar Baasyir merupakan salah satu dari tujuh “orang gila” yang berasal dari Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Dia lahir di Dusun Pekunden, Desa Kademangan, Kecamatan Mojoagung, pada 17 Agustus 1938.

Selama Orde Baru, dakwah Abu Bakar Baasyir membuat pemerintah menjadi gerah. Materi yang disampaikan kerap membikin telinga pemerintah menjadi merah. Arek Kademangan ini akhirnya ditangkap. Dia dijatuhi hukuman penjara 4 tahun. Namun belum sampai menjalani hukuman, Abu Bakar Baasyir kabur ke Malaysia.

Soeharto tumbang, era reformasi menjelang. Abu Bakar Baasyir kembali ke Tanah Air. Dia kemudian mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia(MMI). Lalu pada 2003 ditangkap lagi oleh pemerintahan Megawati karena dituduh terlibat kegiatan terorisme yang membuatnya divonis 1,5 tahun.

Tahun 2004, setelah keluar dari penjara Salemba, dia kembali ditangkap karena tuduhan terlibat kasus bom hotel Marriot. Abu Bakar Baasyir harus mendekam selama 30 bulan. Dia baru menghirup udara bebas pada 2006.

Selanjutnya, pada 2010, salah satu pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu’min, Sukoharjo, Jawa Tengah, kembali berurusan dengan polisi. Dia ditengarai punya keterkaitan dengan Dulmatin yang ditembak mati pasukan antiteror di Pamulang, Tangerang. Ustaz berambut putih ini kembali dijebloskan dalam terali besi. Pendek kata, hidup Abu Bakar Baasyir menggelinding dari penjara ke penjara.

Kita sudahi soal gerakan terorisme yang digaungkan Abu Bakar Baasyir sampai di sini. Kembali ke masalah “orang-orang gila” yang berasal dari Jombang. Saya masih ingat, dalam sebuah ceramah pengajian di alun-alun Jombang tahun 2002, Gus Dur menyebut setidaknya ada tujuh “orang gila” yang lahir dari rahim Jombang.

Berada di urutan pertama adalah Gus Dur sendiri. Semua orang tahu, bagaimana sepak terjang cucu pendiri NU ini selama hidup. Ketika Orde Baru sedang kuat-kuatnya, Gus Dur justru mengibarkan bendera perlawanan.

Peta pemikiran Gus Dur juga sulit ditebak, dan tidak jarang memantik kontroversi. Seperti ketika Gus Dur menjadi satu-satunya presiden yang meninggalkan istana dengan celana kolor, misalnya.

Gus Dur juga dikenal dekat dengan semua kalangan, tak terkecuali dengan warga Tionghoa. Bahkan antara keduanya ada pertautan sejarah.

Bagi warga Tionghoa, perayaan Tahun Baru Imlek bukan hanya identik dengan barongsai, kue keranjang dan angpau, namun juga identik dengan sosok Gus Dur. Karena mantan Presiden RI ini-lah yang pertama mengakui keberadaan kelompok Tionghoa selama bertahun-tahun di Tanah Air.

Selanjutnya “orang gila” yang menempati urutan kedua adalah Nurcholis Madjid atau Cak Nur. Tokoh pembaruan pemikiran Islam ini lahir di Dusun Mojoanyar, Desa Mojotengah, Kecamatan Bareng, Jombang.

Menjelang pemilu 1971, Cak Nur membuat geger Indonesia terkait pandangannya tentang politik dan keislaman. Cak Nur melontarkan gagasan “Islam yes, Partai Islam no”. Padahal saat itu partai Islam sedang naik daun. Sedang kuat-kuatnya.

Tahun 1980-an, Cak Nur mendorong terjadinya check and balance dengan munculnya ide oposisi loyal. Yakni, mekanisme oposisi kepada kebijakan-kebijakan pemerintah, tapi tetap loyal pada negara, dan loyal pada cita-cita bersama.

Mekanisme tersebut untuk mengantisipasi terjadinya oposisi yang sekadar oposan. Dengan kata lain, oposisi tidak hanya to oppose, tapi juga to support.

Pada urutan ketiga Gus Dur dalam pengajian itu menyebut nama Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Pria kelahiran Desa Mentoro, Kecamatan Sumobito ini dikenal sebagai sosok yang multidimensi. Maka tidak berlebihan jika Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) menjuluki Cak Nun seperti tertulis dalam selarik puisinya;

Santri tanpa sarung, haji tanpa peci, kiai tanpa sorban, dai tanpa mimbar, mursyid tanpa tarekat, sarjana tanpa wisuda, guru tanpa sekolahan, aktivis tanpa LSM, pendemo tanpa spanduk, politisi tanpa partai, wakil rakyat tanpa dewan, pemberontak tanpa senjata, ksatria tanpa kuda, saudara tanpa hubungan darah.

Masih segar dalam ingatan kita saat Presiden Soeharto meletakkan jabatannya pada 21 Mei 1998. Di depan kamera televisi disaksikan jutaan rakyat Indonesia, Soeharto menyatakan dalam bahasa Jombangan; “Ora dadi presiden ora patheken”.

Nah, siapa lagi yang mengajari orang kuat di era Orde Baru itu, kalau bukan “orang gila” dari Jombang?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here