Amanah Terbesar

2346

Oleh: Dr. H. Hasan Basri Tanjung, MA (Ketua Yayasan Dinamika Umat)

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah,” (QS. Al-A’ráf [4]: 9).

Ulama terkemuka, Imam Al-Ghazali, memberi enam petuah berharga lewat pertanyaan esensial dan salah satunya adalah: “Apakah yang paling berat di muka bumi ini?“ Lalu beliau menjawab sendiri, yakni amanah.

Kenapa amanah yang paling berat? Karena akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Pada hakikatnya, semua yang ada pada diri kita dan yang diberikan untuk kita di dunia ini adalah amanah atau titipan Ilahi. Tentu, yang namanya titipan akan diambil kembali oleh Sang Pemilik kapan dan di mana pun ia mau. Tapi, bukan hanya sekadar diambil, tapi ia akan diminta pertanggungjawaban. Lalu, apakah amanah terbesar di muka bumi ini?

 

Apakah Amanah Terbesar?

Dalam Al-Quran al-Karim, banyak sekali ayat membicarakan amanah (amanat) dalam berbagai konteksnya. Misalnya, amanah sebagai tugas-tugas keagamaan (QS. Al-Ahzáb [33]: 72), jangan mengkhianati amanah (QS. Al-Anfál [8]: 27), memelihara amanah (QS. Al-Muminún [23]: 8, QS. Al-Ma’árij [70]: 32), menyampaikan amanah kepada yang berhak (QS. An-Nisá [4]: 58), dan lain-lain. Begitu juga Rasulullah Saw mengingatkan dengan tegas akan pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang Allah titipkan. Amanah berkaitan dengan kepemimpinan, dan kepemimpinan berkaitan dan tidak bisa terlepas dari setiap manusia apa pun kedudukannya. Nabi Saw. pernah bersabda bahwa setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Imam (pejabat apa saja), suami, istri, pembantu rumah tangga pun pemimpin. (HR. Bukhari).

Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (Volume 2), menafsirkan ayat 58 surat An-Nisá, bahwa amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Amanah adalah lawan dari khianat. Ia tidak diberikan kecuali kepada orang yang dinilai oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang diberikannya itu. Amanah bukan hanya sesuatu yang bersifat material tetapi juga non-material dan bermacam-macam. Semuanya diperintahkan Allah untuk menunaikannya. Ada amanah antara manusia dengan Allah, antara manusia dengan manusia lainnya, antara manusia dengan lingkungannya, dan antara manusia dengan dirinya sendiri.

Lalu, apakah amanah terbesar itu? Dr. Abdul Aziz bin Fauzan dalam buku “Fiqh at-Ta’amul Ma’an Nás”, mengatakan bahwa amanat terbesar adalah anak. Sekalipun pada saat yang sama menjadi penyejuk mata dan buah hati (QS. Al-Furqán [25]: 74), perhiasan kehidupan dunia (QS. Al-Kahfi [18]: 46), namun merupakan amanah besar bagi orangtua yang kelak akan diminta pertanggungjawabannya (QS. Al-Anfál [8]: 28, QS. At-Taghábun [64]: 15). Berbeda dengan amanah lainnya, seperti harta, kedudukan, dan pangkat yang bersifat ikhtiyari (pilihan) dengan waktu tertentu. Begitu Alllah menitipkan anak kepada orangtua, ia menjadi kewajiban dan kemestian sepanjang hayat di kandung badan. Sejak dalam kandungan 9 bulan dan dilahirkan bertaruh nyawa oleh Sang Bunda, disusui 2 tahun, dibesarkan dan dididik bermandi keringat, berlinang air mata dan banting tulang mencari nafkah hingga dewasa dan menikah. Bahkan, setelah menikah pun, secara moral dan sosial tetap tak bisa terlepaskan.

Anak yang saleh dan berakhlak karimah akan mengangkat harkat martabat orangtuanya di dunia dan akhirat. Orangtua akan bahagia jika dikaruniakan anak yang saleh dan ber-akhlak karimah serta berbakti kepada orangtua. Sebaliknya, cobaan yang paling berat pun adalah anak. Nama baik, kehormatan dan kedudukan bisa sirna dan rusak jika berkaitan dengan perilaku anak yang tidak baik. Orangtua akan sangat menderita jika anaknya tidak mau ibadah, akhlaknya buruk, dan durhaka. Apalagi terjerumus pada tindak kriminal, pornografi, pergaulan bebas, narkoba, dan lainnya. Na’udzu billáhi min dzálik. Kewajiban orangtua untuk menjaga mereka dari api neraka, baik neraka dunia maupun neraka akhirat (QS. At-Tahrim [66]: 6).

Karena anak adalah amanah terbesar dan terberat, maka sepatutnya orangtua mencurahkan segala daya upaya, tenaga, pikiran, harta dan waktu untuk menjaga dan mendidik mereka. Jangan salahkan mereka, jika tidak menjalankan ibadah dan berbakti kepada orangtua, tidak bersikap baik kepada kerabat, tetangga, dan sesama. Boleh jadi, orangtuanya yang telah mendidik mereka untuk bersikap begitu tanpa disadari. Pepatah Arab menyebutkan: Man yazra’ yahsud (barang siapa menanam, maka ia yang akan menuai).

Dr. Abdul Aziz bin Fauzan menyebutkan 6 hak anak yang wajib dipenuhi oleh orangtuanya, yakni: 1). Memilih istri salehah yang akan melahirkannya kelak. Anak berhak untuk dipilihkan calon ibu yang baik yakni terhormat dan beragama (HR. Bukhari); 2). Memberikan nama yang baik. Nama ibarat pakaian. Kalau buku dibaca dari judulnya, maka anak dikenali dari namanya. Nama adalah doa, identitas, hiasan, dan kesempurnaan diri; 3). Mengaqiqahkan. Dianjurkan pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama. Sebagai tanda syukur dan memperjelas nasab anak (HR. Abu Daud); 4). Memberi nafkah yang halal. Jangan berikan mereka makanan dari rezeki yang haram, karena akan mengalir dalam darahnya dan berdampak pada sikap dan perbuatannya;

5). Mendidik dengan pendidikan Islam. Menanamkan akidah tauhid, berbakti kepada orangtua, berbuat kebaikan, amar ma’ruf nahi munkar, bersabar, dan berakhlak karimah (QS. Luqmán [31]: 12-19) dan menyuruh shalat mulai usia 7 tahun (HR. Abu Daud); 6). Berlaku adil kepada anak. Tentu tidak bisa sama dalam segala hal (proporsional). Tapi kasing sayang mesti harus sama agar tidak menimbulkan kecemburuan dan permusuhan.

 

*****

Jika kita renung ulang doa untuk orangtua yang kita ungkapkan: ”Ya Allah, sayangilah mereka berdua sebagaimana mereka telah mendidik aku waktu kecil,” (QS. Al-Isrá [17]: 24). Kamá rabbayání shaghíra (sebagaimana mereka telah mendidik/memperlakukan aku di waktu kecil), maknanya, jika orangtua mendidik mereka dengan baik, maka begitu pula doa mereka kepada Allah agar berlaku hal yang sama kepada kita. Namun, sebaliknya, jika kita mendidik/berbuat buruk kepada mereka di waktu kecil, maka kita begitu pula Allah memperlakukan kita. Harus diingat, bahwa bukan hanya perlakuan kita kepada anak yang akan berbuah balasan yang sama kepada kita. Tetapi juga, ternyata perlakuan kita kepada kedua orangtua, apakah berbakti (birrul wálidain) atau durkaha (‘uqúqul wálidain), juga akan berdampak pada sikap anak kepada kita.

Pesan baginda yang mulia: ”Birru abákum tabirrukum abná akum (berbaktilah kepada orangtuamu, niscaya anak-anakmu pun akan berbakti kepadamu),” (HR. Ath-Thabrani). Mari senantiasa berdoa untuk diri kita yang belum bisa mendidik anak dengan baik, untuk kedua orangtua yang telah menghamparkan jalan kesuksesan dan anak-anak yang akan melanjutkan keturunan dan perjuangan. Amin.

Wallâhu a’lam bish Shawâb.

 

Sumber: Buku “Mendaki Jalan Kemuliaan: Bunga Rampai Catatan Kebajikan II”, karya Dr. H. Hasan Basri Tanjung, MA.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here