Wamenag: Praktik Gratifikasi Dilarang Semua Agama!

449
Wamenag Zainut Tauhid Sa'adi. (Foto: kemenag)

Jakarta, Muslim Obsession – Semua agama jelas melarang praktik gratifikasi. Orang yang beragama semestinya mampu mencegah praktik gratifikasi dari diri sendiri, baik menerima maupun memberi karena bertentangan dengan ajaran agama.

Demikian ditegaskan Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi saat menjadi keynote speech dalam gelaran Webinar Diseminasi Buku “Gratifikasi dalam Perspektif Agama” secara daring, Rabu (8/7/2020).

Pada webinar yang digelar atas kerja sama Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, Wamenag mengingatkan posisi vital pemuka agama sebagai tempat rujukan umat dalam memberikan fatwa perihal hukum agama

“Dengan terbitnya buku Gratifikasi dalam Perspektif Agama, masyarakat diharapkan dapat memahami substansi gratifikasi dengan benar. Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Kementerian Agama sepakat bahwa pemuka agama memainkan peran vital dalam diseminasi pengetahuan tentang gratifikasi,” ujar Wamenag, mengutip Kemenag.

Wamenag pun memaparkan sekilas pandangan agama-agama terhadap gratifikasi. Dalam agama Buddha, dikenal sebuah ajaran yang dinamakan berdana atau dana paramitha, yaitu pemberian tanpa pamrih dengan harapan melepas keterikatan demi kebahagian semua makhluk.

Pemberian ini merupakan wujud kedermawanan atau kemurahan hati yang didasari sifat luhur untuk beramal atau berkorban demi kepentingan umum.

Seorang pemberi gratifikasi mengharapkan sesuatu dari penerima untuk kepentingan pribadinya dalam bentuk imbalan. Maka, praktik semacam ini justru akan menambah nafsu (lobbha) atau keserakahan.

“Agama Hindu mengajarkan agar manusia mengamalkan asih, puniya, dan bhakti di dalam semesta ciptaan-Nya. Konsep dasar ini menjadi petunjuk bagi pemeluknya dalam menjalani empat jenjang kehidupan (Catur Asrama) dengan baik untuk mencapai moksa, atau lepas dari ikatan duniawi,” kata Wamenag.

Manusia, lanjut Zainut Tauhid, tentu membutuhkan materi (arta) dan mempunyai keinginan (kama) untuk menopang kehidupannya. Untuk memenuhi kedua aspek tersebut, segala perbuatan harus berdasarkan pada darma atau ajaran tentang kebenaran, pandangan dan tuntunan hidup.

“Memperoleh arta dan kama dari perbuatan yang menyimpang dari darma maka tidak ada manfaatnya bagi kehidupan, hanya akan membawa pelakunya pada penderitaan,” tandas Zainut.

Begitu juga dengan Agama Katolik dan Kristen yang turut mengecam praktik gratifikasi. Ada konsep persembahan sebagai pemberian yang berkenan kepada Tuhan, yakni pemberian yang dilakukan dengan sukarela, hal itu tentu berbeda dengan gratifikasi.

“Karena gratifikasi merupakan pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajibannya,” pesan Wamenag.

Dan dalam Perjanjian Lama dituliskan “Suap orang janganlah kau terima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar (Keluaran 23:8).

Sementara dalam fikih agama Islam, terminologi hadiah diartikan sebagai pemberian barang/benda dari seseorang semasa hidupnya kepada orang lain, dari harta yang dimilikinya secara fisik (bukan dimiliki manfaatnya saja). Hadiah dimaksudkan sebagai penghormatan atau bertujuan memuliakan si penerima, diberikan tanpa syarat dan harapan akan suatu imbalan.

“Bagaimana dengan gratifikasi ilegal atau pemberian yang melanggar ketentuan PMA Nomor 34 Tahun 2019? Tentu tidak memenuhi syarat itu. Bahkan secara spesifik, Islam menamai praktik ini ke dalam pengertian ghulul atau korupsi,” tegas Wamenag.

Menurutnya hadiah bisa menjadi haram jika bertujuan melanggar hukum syariat, memengaruhi keputusan publik, dan sebagainya.

Dalam Hadis Riwayat Abu Daud, Al-Hakim, dan Ibnu Huzaimah, dinyatakan bahwa apa yang diambil oleh seseorang yang diangkat sebagai pegawai dari selain gaji adalah ghulul.

“Mengutip An Nawawi dalam Syarah Muslim, maka menerima gratifikasi ilegal adalah haram dan termasuk dosa besar, meskipun nominalnya terbilang kecil,” ujar Wamenag.

“Dibutuhkan sosialisasi, komunikasi dan koordinasi yang baik di antara kita semua dalam rangka meningkatkan kinerja Kementerian Agama dengan menjunjung tinggi nilai ajaran agama, moral dan etika menuju kementerian yang berintegritas serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tanpa bantuan Saudara-Saudara, misi luhur tersebut akan sulit diwujudkan,” tandas Wamenag.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here