Sudah Bayar Pajak, Masih Wajib Bayar Zakat?

681

Oleh: M. Fuad Nasar (Mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)

Satu ketika sebuah pertanyaan kritis muncul dalam forum yang pernah saya hadiri dengan para pemangku kepentingan perzakatan. Seorang muslim yang sudah membayar pajak penghasilan apakah masih wajib membayar zakat?

Pertanyaan ini sebetulnya sederhana, tetapi substansinya cukup mendasar. Menurut prinsipnya, zakat dan pajak merupakan kewajiban yang merefleksikan tanggungjawab beragama dan tanggungjawab bernegara.

Pendapat yang menjadi arus utama (mainstream) di negara-negara berpenduduk muslim menjelaskan bahwa zakat tidak bisa dijadikan pajak dan pajak tidak bisa dijadikan zakat.

Dalam konteks bernegara, sistem perzakatan adalah alat korektif terhadap kepincangan sosial ekonomi di masyarakat, melindungi kemashalatan umat dan menjaga daya beli masyarakat.

Sementara itu sistem perpajakan berperan sebagai sumber andalan penerimaan negara dan menjaga keseimbangan ekonomi. Singkat kata zakat merupakan pilar kesejahteraan masyarakat dan pajak merupakan pilar pembangunan negara dimana keduanya saling terkait.

Di era permulaan Islam zakat merupakan satu-satunya sistem perpajakan bagi umat Islam, sementara bagi non-muslim diberlakukan jizyah yakni sejenis pajak jiwa sebagai kompensasi perlindungan keamanan jiwa dan harta benda.

Sejak masa pemerintahan amirul mukminin Umar bin Khattab diperkenalkan kharaj yakni pajak atas tanah milik negara yang disewakan kepada penduduk.

Umat Islam sejak abad pertama hijriah telah mengenal pajak dengan sebutan kharaj (pajak hasil bumi/tanaman), sedang pajak dalam pengertian umum disebut dharibah (Inggris: tax).

Ketika kebutuhan keuangan negara masih sederhana, maka dengan pendapatan yang berasal dari zakat, jizyah dan kharaj telah cukup menanggulangi kebutuhan negara. Zakat tetap wajib meski ada pajak.

Masalah zakat dan pajak telah dibahas secara mendalam oleh para ulama yang berkompeten di Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak beberapa dekade lampau. Salah satunya Seminar Nasional tentang Zakat dan Pajak yang diselenggarakan MUI pada 2 – 4 Maret 1990 di Jakarta menghasilkan kesimpulan mengenai kewajiban zakat dan pajak bagi umat Islam.

Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML, waktu itu Ketua MUI/Ketua Komisi Fatwa MUI memaparkan, “Islam begitu hadir, di tengah-tengah masyarakat telah hidup bermacam-macam aturan, budaya, adat istiadat dan lain sebagainya. Dalam menghadapi masalah ini ada tiga macam sikap Islam; (a) Hal-hal yang bertentangan dengan Islam ditolak secara tegas. (b) Hal-hal yang bertentangan akan tetapi sudah membudaya dan mengakar di masyarakat ditolak dengan cara bijaksana, yaitu dibenarkan untuk sementara, tetapi dicarikan jalan penyelesaian dan pemecahan untuk menuju kepada penghapusan sama sekali. (c) Yang tidak berlawanan dengan Islam diteruskan, dilestarikan dan disempurnakan, contohnya seperti Pajak.”

Lebih lanjut Ibrahim Hosen yang merupakan ahli perbandingan fiqih menjelaskan pandangan Islam tentang pajak di dunia modern, “Pajak adalah aturan atau sistem yang dapat dibenarkan oleh Islam. Jauh sebelum Islam datang, sistem perpajakan telah lama dikenal oleh sejarah umat manusia. Setelah Islam datang, sistem pajak yang ternyata banyak manfaat dan maslahatnya ini eksistensinya diakui, dibenarkan dan disempurnakan. Tidak dapat dijadikan dalil bahwa apabila zakat telah dibayar maka kewajiban pajak gugur, atau sebaliknya bila pajak telah dibayar maka zakat menjadi gugur. Warga negara Indonesia yang beragama Islam berkewajiban mengeluarkan zakat sebagai realisasi pelaksanaan perintah agama dan berkewajiban pula membayar pajak sebagai realisasi ketaatan kepada Ulil Amri/pemerintah yang juga diwajibkan oleh agama. Islam memberi wewenang kepada Ulil Amri/pemerintah untuk mengelola zakat dan pajak.” Makalah Ibrahim Hosen dimuat dalam Majalah Mimbar Ulama, No 150, Zulhijjah 1409 H – Juli 1990.

Ulama internasional Prof. Dr. Syaikh Muhammad Abu Zahrah sebagaimana dirujuk pendapatnya oleh Dr. Syauqi Ismail Sahata dalam buku Penerapan Zakat Dalam Dunia Modern membahas boleh tidaknya memungut pajak di samping zakat. Abu Zahrah mengatakan bahwa pajak-pajak yang berlaku di negara-negara Islam tidaklah berfungsi sebagai zakat. Pemungutan pajak di samping zakat adalah boleh, sesuai dengan prinsip al-mashalihul mursalah.

Pajak yang dibayarkan walau dengan nilai nominal lebih tinggi daripada zakat, tidak bisa sebagai pengganti kewajiban zakat. Karena zakat adalah kewajiban yang beralas syarat dan ketentuan syariah, sedangkan pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diwajibkan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara dan diatur dengan undang-undang. Keshalehan finansial umat Islam tercermin antara lain dari kesadaran menunaikan zakat, infak, sedekah dan kesadaran membayar pajak sebagai warga negara yang baik.

Sementara itu untuk menjaga kejujuran para wajib zakat dan wajib pajak hingga menegakkan integritas pengelola zakat dan pengelola keuangan negara, dibutuhkan penguatan nilai spiritualitas dan kesadaran pertanggungjawaban kepada Tuhan yang tidak bisa dipermainkan. Kesadaran transendental tidak bisa ditinggalkan dalam mewujudkan integritas tata kelola perzakatan dan perpajakan yang lebih baik.

 

BAGIKAN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here