Pesan-pesan Lebaran di New York

866

Oleh: Imam Shamsi Ali (Direktur Jamaica Muslim Center New York, dan Presiden Nusantara Foundation)

Alhamdulillah, walaupun hidup di kota yang dikenal sebagai ibu kota dunia (Capital of the world) dan jantung kapitalisme dunia ini, pelaksanaan Idul Fitri terasa semarak penuh syiar.

Salah satu pusat komunitas Muslim (Islamic Community Center) yang mengadakan lebaran terbesar di kota ini adalah Jamaica Muslim Center. Jamaica adalah nama daerah bagian dari kota New York. Entah kenapa dinamai Jamaica, sehingga kerap disalahpahami jika daerah ini penuh dengan orang-orang Jamaica, sebuah negara di Karibia.

Jamaica Muslim Center sendiri adalah salah satu dari 200-an masjid di kota New York. Masjid ini terletak di sebuah perbukitan, dengan daerah yang masih hijau. Konon kabarnya sebelum Islamic Center ini berdiri lokasi tersebut cukup menyeramkan (tidak aman).

Alhamdulillah sejak berdirinya sekitar 1993 lalu, daerah sekitarnya menjadi daerah yang termasuk dianggap paling aman.

Jamaica Muslim Center sendiri bermula dari kegiatan salat berjamaah di basement seorang Muslim keturunan Bangladesh. Yang kemudian rumahnya diwakafkan menjadi masjid. Mulailah komunitas Muslim berdatangan ke daerah itu. Ada yang membeli rumah. Ada pula yang membuka usaha.

Dengan semakin ramainya warga Muslim yang tinggal di daerah yang lebih dikenal dengan Jamaica Hills itu, sebuah rumah lagi dibeli di samping rumah yang pertama.

Belakangan kedua rumah itu dirobohkan, lalu dibangun sebuah masjid yang cukup megah. Masjid berlantai 3 itu kini bisa memuat 1.700-an hingga 2.000-an jamaah setiap Jumatnya.

Jamaica kini menjadi salah satu pusat komunitas Muslim yang sangat dikenal. Dalam sejarahnya masjid ini paling sering menjadi destinasi kunjungan para pejabat kota. Bahkan Michel Bloomberg di akhir jabatannya sebagai Wali Kota New York menyempatkan diri berkunjung ke masjid ini.

Wali Kota New York saat ini, Bill de Blasio, telah berkunjung tiga kali ke masjid yang bernama Al-Mamoor ini. Bahkan beberapa waktu lalu secara khusus datang untuk menyampaikan dukungan kepada komunitas Muslim menghadapi Islamophobia yang semakin meninggi pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Pesiden Amerika.

Lebaran Terbesar di New York

Salah satu kegiatan fenomenal Jamaica Muslim Center adalah kegiatan Idul Fitri atau Idul Adha yang sangat besar. Selama ini diperkirakan jamaah yang hadir di perayaan Idul Fitri atau Idul Adha tidak kurang dari sepuluh ribu orang.

Sebagian memberikan catatan bahwa jika tidak terbesar di kota New York, minimal lebaran Jamaica Muslim Center adalah salah satu yang terbesar di kota ini. Dan salah satu yang terbesar di Amerika Serikat.

Tahun ini Jamaica Muslim Center kembali mengadakan lebaran yang sangat besar. Lapangan Thomas Edison High School (Sekolah SMU Thomas Edison) membludak. Bahkan jalan di pinggiran jalan itu juga ditutup oleh kepolisian New York untuk dipakai sholat oleh sebagian yang tidak mendapatkan tempat di dalam lapangan.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, saya kembali diminta untuk menjadi Khatib lebaran tahun ini. Berikut Saya sampaikan summary (ringkasan) khotbah saya untuk memberikan manfaat yang lebih luas.

1. Salah satu kekeliruan besar bahkan sebuah kesalahan yang berbahaya adalah ketika kita beramal dan merasa karena kita. Saya menyebutnya sebagai “religious arrogance” (keangkuhan beragama).

Karenanya harus disadari bahwa kita bisa melakukan ibadah-ibadah dalam agama ini semuanya karena hidayah dan taufik Allah SWT. Dan Karenanya hal pertama yang harus kita bangun adalah sadar syukur nikmat Allah. Terkhusus nikmat iman dan Islam ini.

2. Hal yang disayangkan dalam beribadah adalah sering kali ibadah-Ibadah yang kita lakukan bertujuan sekadar mengumpulkan “pahala”. Sering dijadikan barteran surga. Seolah kita membeli syurga-Nya dengan ibadah-ibadah kita.

Ini adalah sebuah kekeliruan besar. Karena sesungguhnya tidak seorang pun yang mampu masuk symurga karena ibadah-ibadahnya. Apalagi membayar Allah atas semua karunia-Nya dengan ibadah-ibadah itu.

Tujuan beribadah adalah untuk meraih rido dan kasih Allah (rahmat-Nya). Dengan rahmah dan rido-Nya jugalah kita akan menerima imbalan dari-Nya. Ternasuk di dalamnya masuk surga-Nya di akhirat kelak.

3. Untuk ibadah bisa meraih rido dan kasih Allah, hendaknya ibadah-ibadah yang dilakukan tidak sekadar kegiatan rutinitas harian, mingguan atau tahunan. Tapi hendaknya memiliki dampak positif dalam kehidupan nyata kita.

Dampak inilah yang saya namai transformasi. Bahwa ibadah-ibadah yang kita lakukan harus membawa transformasi dalam kehidupan kita.

4. Transformasi atau perubahan yang tumbuh sebagai dampak nyata dari puasa Ramadan minimal akan terlihat pada lima titik kehidupan manusia.

Pertama, transformasi dalam membangun kedekatan dengan Allah SWT.

Puasa itu adalah sebuah kegiatan ritual yang sangat privat sifatnya. Sebuah kegiatan ibadah yang hanya melibatkan Allah dan hamba-Nya. Sehingga puasa benar-benar menjadi seolah “milik Allah. Dan Allah sendiri yang memberikan pahalanya secara langsung”.

Praktik ibadah yang sangat privat inilah yang sendirinya membangun hubungan yang begitu dekat dengan Allah. Sebuah rasa yang membangun kebersamaan denganNya (ma’iyatullah).

Dengan “sense of togetherness with Allah” (perasaan dan keyakinan bersama Allah) inilah akan tumbuh rasa aman dalam hidup. Goncangnya dunia takkan menggoncang jiwa dan mentalitas umat beriman. Semakin tertantang mereka akan semakin solid melanjutkan langkah-langkah juang kehidupannya.

Kedua, bahwa puasa telah membawa transformasi dalam visi hidup.

Selama Ramadan kita mengesampingkan berbagai kecederungan “hawa nafsu” duniawi kita di siang hari. Mengesampingkan hawa nafsu tersebut merupakan latihan untuk mengontrol hawa nafsu.

Esensi puasa dengan mengontrol inilah yang dikenal dalam bahasa agama dengan imsak. Yang artinya menahan.

Kenapa begitu mendasar untuk menahan hawa nafsu duniawi kita? Karena ketika hawa nafsu duniawi kita tidak terkontrol, maka terjadi ragam dekstruksi dalam kehidupan. Berbagai keruskaan dan perusakan merajalela dalam dunia kita karena kegagalan mengontrol hawa nafsu duniawi tadi.

Dengan kemampuan mengontrol hawa nafsu (dorongan) duniawi akan tumbuh sebuah visi hidup yang imbang. Visi hidup yang saling melengkapi, bahkan saling mengikat antara satu dan lainnya.

Itulah visi hidup Islami yang bersifat menyeluruh. Kuat dunia dan insya Allah bahagia akhirat. Sebagaimana digambarkan oleh Al-Quran: “Dan di antara manusia itu ada yang memohon: wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksaan api neraka.”

Ketiga, puasa membawa transformasi perilaku manusia. Perilaku inilah yang bahasa agama disebut akhlak atau karakter.

Karakter kemanusiaan sesungguhnya menjadi salah satu esensi sekaligus tujuan dari seluruh bentuk keberagamaan (religiusitas) kita. Saat, puasa, zakat, haji, umrah dan seluruh amalan-amalan agama semuanya memiliki makna-makna sosial (social dimensions) yang menjadi esensinya.

Salat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Puasa menahan dari semua yang keburukan-keburukan perilaku, kata maupun aksi. Di saat haji dilarang berkata kotor (rafats), fusuk, bahkan berdebat yang bisa menimbulkan kegaduhan.

Intinya dengan puasa Ramadan pelakunya harus tertransformasi dalam karakter kemanusiaannya. Perilaku sosialnya akan semakin baik dan terpuji.

Akhlak adalah nilai tertinggi dari religiusitas seseorang. Sehingga wajar kalau Rasulullah SAW dipuji dalam Alquran, bukan karena amalan rituanya yang luar biasa itu. Tapi karena karakter atau akhlaknya.

Keempat, transformasi hati nurani kemanusiaan kita. Puasa membentuk hati manusia menjadi lebih tajam. Dengan puasa hati menjadi lebih sensitif terhadap lingkungan sekitar.

Realitanya saat ini hati manusia mengalami kebekuan. Atau boleh jadi mengalami mati suri. Sehingga ragam peristiwa kehidupan yang terjadi tidak menyentuh sensitivitasnya. Bayangkan ketika sebuah kampung atau kota dibom. Anak-anak, wanita-wanita, orang-orang tua terbantai bagaikan tak punya harga.

Bulan Ramadan sejatinya melatih rasa kemanusiaan kita merasakan perasaan orang lain. Dalam bahasa agama bulan Ramadan seharusnya mentransformasi hati kita dengan kasih sayang (rahmah).

Dunia kita saat ini sedang mengalami krisis “kasih sayang”. Manusia mengalami kegersangan “rasa empathy” kepada sesama. Maka di bulan Ramadan itulah kita menumbuhsuburkan rasa itu. Belajar merasakan perasaan mereka yang kurang beruntung (unfortunate).

Kelima, bulan Ramadan juga telah membawa transformasi dunia dan peradaban.

Tak dapat disangkal jika saat ini kita hidup dalam dunia yang terpecah (polarized). Runyamnya di beberapa negara yang selama ini getol mengampanyekan kesetaraan justru berbalik dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang memecah belah masyarakat.

Memecah belah yang dimaksud adalah mengangkat dan memuliakan sebagian. Sebagian lainnya direndahkan dan dikelasduakan. Pemecahbelahan itu lebih khusus lagi pada sisi ras manusia.

Tendensi seperti Itulah yang lazimnya disebut rasime. Pelakunya disebut rasis.

Penyakit rasisme saat ini sedang memuncak karena di beberapa negara besar terjadi kebangkitan “White Supremacy” atau keangkuhan kaum kulit putih. Mereka merasa lebih hebat dibandingkan orang lain karena ras putihnya.

Kekerasan-kekerasan terjadi di mana-mana. Termasuk yang paling terakhir penembakan saudara-saudara kita di New Zealand.

Puasa Ramadan menyadarkan kita bahwa perbedaan ras dan warma kulit manusia bukan sesuatu yang menjadi dasar penilaian
Kemuliaannya. Justru perbedaan-perbedaan itu adalah alami, bahkan menjadi keindahan hidup itu sendiri.

Puasa mengajarkan bahwa kemuliaan manusia sesungguhnya bukan pada fisiknya. Tapi pada tatanan hati dan prilaku karakternya. Dalam bahasa agama karena iman dan amal (akhlaknya) semata.

Penutup

Saya akhiri khotbah saya dengan dua pesan khusus.

Pertama, memasuki pemilihan umum di Amerika tahun depan (2020) akan menjadikan Islamophobia meninggi. Cara terbaik untuk menyikapi Islamophobia adalah dengan menguatkan keyakinan kepada Allah yang membolak-balik hati manusia. Selain itu hendaknya Islamophobia dihadapi dengan cara terbaik (ahsan). Yaitu dengan akhlakul karimah.

Kedua, di tengah meningginya tantangan Islamophobia, jangan pernah putus asa dan hilang harapan. Saya mengistilahkan: “keep your heads up” (angkat kepalamu). Jangan pernah minder dan terintimidasi. Karena sesungguhnya sepanjang-panjang terowongan itu, pada ujungnya ada cahaya yang terang (shining light).

Kajayaan dan kemenangan itu selalu bersama dengan kebenaran dan keadilan. Sebuah keyakinan yang harus dibangun terus, di tengah dunia Islam yang sangat memprihatinkan. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here