Kepiting Untuk Kelestarian Bakau Enggano

Catatan Perjalanan Egy Massadiah (Bagian 3).

422

Instrumen Selamat

“Ingat, jangan ada bakau yang ditebang sewenang-wenang, hanya untuk dijadikan arang. Memang arang dari batang bakau disukai karena aromanya harum dan tidak bikin sesak napas. Apinya juga biru, mereka ekspor ke Malaysia dan Timur Tengah. Tapi hutan kita rusak parah akibatnya,” kata Doni.

Karenanya, jika tidak dilakukan gerakan pencegahan penebangan mangrove, serta gerakan penanaman mangrove, Doni khawatir dalam waktu tidak terlalu lama luas hutan mangrove akan terus menyusut.

“Maka sekali lagi saya titip sama pak Camat, jangan sampai ada yang menebang mangrove. Termasuk jangan ada warga yang membangun rumah dengan menggusur serta menimbun hutan bakau,” kata Doni pula.

Doni tegas mengimbau, jika mendapati ada warganya membangun rumah dengan menimbun bakau, segera hentikan.

“Peran penting bakau di Enggano sejatinya bukan semata-mata untuk budidaya kepiting, ada fungsi yang jauh lebih besar, yakni sebagai instrumen untuk menyelamatkan warga Enggano jika sewaktu-waktu terjadi gelombang tsunami,” ujar Kepala BNPB 2019 – 2021 itu.

Doni lantas membuka catatan ihwal posisi Enggano yang terletak pada subduksi Indo-Australia. Batas Samudera Hindia dengan wilayah Asia. Nah, di situ ada subduksi, ada pertemuan lempeng.

Jika pertemuan dua lempeng ini mengalami gesekan, maka akan timbul gempa. Dan biasanya gempa yang ditimbulkan bisa sangat besar, jika itu terjadi setelah sekian lama tidak terjadi gesekan. Istilahnya lepasan energinya sangat besar, bisa mengakibatkan gempa dengan magnitudo hebat seperti yang terjadi di Aceh (2004) dan Nias (2006). “Aceh, Nias, Mentawai, dan Enggano adalah segaris,” kata Doni.

Pertanyaannya, apakah itu mungkin terjadi? “Sangat mungkin. Sekali lagi saya ulangi: Sangat mungkin! Ini ilmu pengetahuan, dan bisa dipelajari. Apakah tsunami Aceh 2004 itu yang pertama? Tidak! Itu yang kesekian kalinya. Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa tsunami di Aceh sudah pernah terjadi sebelum-sebelumnya,” ujar Doni, yang pada tahun 2019 akhir pernah mengunjungi Gua Ek Leuntie di Aceh Besar, saksi bisu tsunami Aceh sejak 7.400 tahun lalu.

Manusia tidak bisa menghindari takdir, tapi berbekal ilmu pengetahuan, kita bisa membuat perencanaan sedemikian rupa untuk bisa meminimalisir dampak, manakala bencana itu terjadi. Entah kapan. “Dan mangrove itu salah satu benteng terbaik meredam tsunami,” tegas Doni.

Doni juga paham, Enggano memiliki problem infrastruktur, utamanya sarana jalan. Selama ini, Enggano seperti belum tersentuh pembangunan. Tenaga listrik yang terbatas. Sarana transportasi yang juga minim. “Dengan menggarap ekowisata berburu, serta budidaya kepiting bakau, saya harap bisa meningkatkan perekonomian Enggano. Ekonomi akan tumbuh dengan sendirinya,” ujar Doni, optimistis.

Simak terus catatan perjalanan Enggano, karena masih melimpah kisah cerita lainnya yang menginspirasi.

Tabik. (*)

 

**Penulis adalah wartawan senior, konsultan media, menulis sejumlah buku serta pembina Majalah “Jaga Alam”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here