Kepiting Untuk Kelestarian Bakau Enggano

Catatan Perjalanan Egy Massadiah (Bagian 3).

421

Ekosistem Mangrove

Jika menelisik dokumen penelitian LIPI di Enggano, bisa kita temukan kajian Ary Prihandyanto Keim. Peneliti LIPI itu mengatakan bahwa ekosistem mangrove merupakan ujung tombak pelestarian Pulau Enggano. Disebutkan pula, jika mangrove rusak, maka keseluruhan ekosistem Pulau Enggano juga akan terganggu.

Selama ini, ekosistem mangrove di pulau Enggano berfungsi menjadi benteng penahan gelombang laut. Luas hutan mangrove keseluruhan lebih dari 1.700 hekatare. Hasil penelitian LIPI tahun 2015 juga sudah menyebutkan kepiting, udang, ikan karang, sebagai bagian dari ekosistem mangrove Enggano.

Karenanya, ketika Doni Monardo menyampaikan rencana budidaya kepiting di hutan bakau Enggano, masyarakat menyambut antusias. “Budidaya kepiting bakau itu segera kita realisasikan,” kata Doni.

Melihat potensi hutan bakau di seluruh Indonesia yang sekitar 3,6 juta hektare, mestinya kepiting bakau bisa menjadi komoditi unggulan Indonesia. “Syaratnya, harus dibudidayakan. Hentikan pengambilan kepiting tanpa diikuti budidaya. Berapa pun banyaknya, kalau tidak dibudidayakan, kepiting akan habis,” tambahnya.

Budidaya kepiting bakau seyogianya dibuat dengan memasang semacam keramba dari jaring dengan kualitas bagus.

Doni juga menyebutkan, kepiting memiliki pola hidup kanibal. Ia mencontohkan, dari 100 benih kepiting, yang berhasil tumbuh hingga layak panen, hanya sekitar 30 persennya saja. “Kita juga harus menjaga agar yang dipanen adalah kepiting jantan dengan ukuran 400 gram,” katanya.

Ke depan, Doni akan melibatkan pakar kepiting. “Nanti akan kita buatkan pola budidaya yang baik dan benar. Termasuk pola pemberian makan. Ketika kepiting masih kecil-kecil, mungkin cukup sekali diberi pakan dalam sehari. Ketika sudah besar, bisa ditambah dua sampai tiga kali pemberian pakan. Makanan yang paling mudah didapat adalah sisa-sisa potongan kepala ikan, atau bagian ikan yang tidak diambil, dicacah-cacah lalu ditebarkan ke keramba,” kata Doni.

Jika semua berlangsung baik, dalam waktu 3 – 4 bulan sudah bisa mulai panen. Kita bisa lihat harga kepiting bakau paling murah Rp 70.000 per kg. Makin besar ukuran, makin mahal, bisa ratusan ribu rupiah per kilogram.

Kalkulasinya sederhana, bahwa bakau adalah habitat yang sangat bagus untuk budidaya kepiting. Karenanya, dalam banyak kesempatan Doni menjadi orang yang paling lantang menentang penebangan bakau.

Kepiting Merah dan Selasih

Adalah Petrus Sutarjo, salah satu penggiat udang dan kepiting yang turut serta dalam rombongan Doni Monardo ke Enggano. Petrus tak habis-habis memuji keutuhan hutan bakau di sana, sebagai habitat yang sangat bagus bagi kepiting.

Ihwal gagasan Doni Monardo mengembangkan budidaya kepiting, Petrus sangat setuju. “Dari empat jenis kepiting yang hidup di perairan seluruh Indonesia, dua di antaranya ada di Enggano. Ini potensi yang luar biasa,” ujar Petrus, pembudidaya udang vaname dan ikan bandeng di Saung Naga Soedirman, kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.

Empat kepiting yang disebut Petrus, pertama adalah kepiting hijau (Jawa). Yang kedua kepiting hitam (Kalimantan dan Papua). Ketiga kepiting merah dan keempat kepiting selasih. “Nah, dua varietas kepiting ada di Enggano, yakni kepiting merah dan selasih,” ujarnya.

Kedua jenis kepiting itu bisa dibilang kepiting unggulan. Menurut Petrus, kepiting merah sangat diminati pasar ekspor. “Permintaan kepiting merah umumnya datang dari China, Hong Kong, Singapura, dan Malaysia. Berapa pun produksinya, akan terserap, karena memang permintaan sangat tinggi,” ujarnya.

Sementara, kepiting selasih juga sangat tinggi permintaan pasar, terutama dari para pengusaha restoran seafood. “Jika kita makan kepiting yang ukuran jumbo, ada yang beratnya satu kilo, dua kilo, bahkan lebih, itulah kepiting selasih. Ukurannya jumbo-jumbo,” katanya.

Karenanya, gagasan Ketua Umum PPAD untuk membudidayakan kepiting di Enggano, dinilai sangat tepat. Enggano memiliki dua varietas kepiting unggulan, alam bakaunya juga masih utuh dan terjaga. “Saya ikut keliling Enggano bersama pak Doni. Wah, hutan bakaunya masih rapat, luar biasa,” kata Petrus.

Hutan bakau adalah habitat terbaik kepiting. Itu artinya, dengan sistem budidaya yang baik, ada harapan produksi kepiting Enggano bisa terjaga bahkan meningkat. “Tidak seperti sekarang, di mana populasi kepiting makin tergerus. Kenapa bisa terjadi? Karena kepiting betina ikut ditangkap dan dijual,” kata Petrus, prihatin.

Petrus mengaku sudah berdialog dengan sekitar 20 pencari kepiting di Enggano. Mereka sendiri yang mengisahkan, sepuluh tahun lalu, dalam satu hari bisa mendapatkan 70 kilogram kepiting. Tapi saat ini, dalam tiga hari mencari kepiting hanya dapat 20 kilogram kepiting.

“Yang lebih mengenaskan, kepiting-kepiting itu dibeli tengkulak dengan harga dua-puluh-ribu rupiah per kilo. Sungguh tragis. Padahal, ekspor kepiting bisa ratusan ribu rupiah per kilogram,” kata Petrus pula.

Petrus optimis dengan rencana program budidaya kepiting di Enggano. Terlebih, Menteri KKP telah mengeluarkan Permen (Peraturan Menteri) yang melarang ekspor kepiting betina. Permen dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari wilayah Indonesia.

Permen tadi selain mengatur ukuran karakas (cangkang) yang boleh ditangkap dan diekspor, juga mengatur dengan sangat spesifik mengenai larangan ekspor kepiting bertelur. Dengan menegakkan aturan tersebut, Petrus berharap budidaya kepiting akan sukses. “Yang lebih penting, kita tidak perlu khawatir anak-cucu kita kelak tidak bisa makan kepiting karena punah,” kata Petrus.

Petrus memuji konsep budidaya kepiting di hutan bakau Enggano sebagai konsep brilian. Di mata Petrus, budidaya itu setidaknya akan mendatangkan tiga manfaat sekaligus. Pertama, kesejahteraan bagi petani kepiting. Kedua, keuntungan bagi eksportir kepiting. Ketiga, ekosistem (hutan bakau) terjaga.

Last but not least… jarak Enggano ke Jakarta hanya 500 km. Dekat. Itu jaminan kita mendapatkan kepiting yang masih dalam keadaan hidup. Apalagi kepiting merah dan selasih terkenal memiliki daya hidup tanpa air yang cukup lama,” kata Petrus, senang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here