Cerita Imam Shamsi Ali Dicemooh Bule di Amerika

807
Imam Shamsi Ali (Foto: Fikar OMG)

Makassar, Muslim Obsession Dakwah dan komunikasi Islam itu butuh seni. Kita tidak boleh saling menyalahkan, tidak boleh merasa benar sendiri, dan jangan langsung marah apabila ada orang yang mencaci-maki agama Islam.

Seni berkomunikasi dalam Islam itu sangat penting dan besar pengaruhnya, baik untuk komunikasi antar-sesama umat Islam, maupun untuk komunikasi antara umat Islam dengan umat agama lain.

Hal itu dikemukakan Dr H Shamsi Ali Lc MA, Founder Nusantara Foundation, New York AS, saat tampil sebagai salah seorang pembicara pada “Seminar Internasional Komunikasi Islam, Komunikasi Islam di Dunia Digital”, di Balai Sidang Muktamar 47 Kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Selasa (17/9/2019) seperti dikutip dari pedomankarya.co.id.

Pria kelahiran 1967 asal Kajang, Bulukumba, itu kemudian menceritakan beberapa pengalamannya sebagai seorang Imam di Amerika Serikat, dalam menghadapi atau berkomunikasi dengan umat agama lain.

“Suatu hari ketika saya sedang mengajar di kelas khusus non-muslim di Islamic Centre New York, saya didatangi seorang kulit putih. Orang itu berdiri di pintu sambil berteriak-teriak memaki, mengutuk dan mengacungkan telunjuk ke arah saya. Sebagai orang Kajang (Bulukumba), darah saya sebenarnya sudah naik. Kalau ada orang Islam tidak marah padahal agama dan Nabinya dicaci, perlu dipertanyakan itu keislamannya. Maka saya pun marah, marah sekali,” ungkap Shamsi Ali.

Namun ia segera sadar dan mencoba mengingat serta berimajinasi. Ia membayangkan bagaimana bila Rasulullah Muhammad Saw. yang berada dalam posisi seperti dirinya. Bagaimana jika Rasulullah dicaci maki.

“Rasulullah itu tidak pernah marah, meskipun ia dicaci. Saya akhirnya hanya tersenyum. Orang itu kemudian pergi begitu saja, tapi saya segera keluar kelas dan menyusulnya dan ternyata dia sangat tinggi. Saya tersenyum dan ia terlihat kaget. Dia bilang kamu mau apa? Saya tersenyum semanis mungkin dan saya bilang, bolehkah saya berjabat-tangan dengan Anda? Dia kaget, tapi mau juga dia berjabat tangan dengan saya,” tutur Shamsi.

Satu pekan kemudian, pada hari yang sama, yakni Hari Sabtu, kata Shamsi, orang itu datang lagi ke tempatnya, tapi tidak lagi marah-marah.

“Sabtu berikutnya dia datang lagi, tapi dia tidak marah-marah lagi dan bahkan duduk sambil mendengarkan presentase saya tentang Islam. Justru saya yang penasaran, kenapa dia datang lagi. Setelah saya tanya, dia bilang dalam beberapa hari terakhir dia kurang tidur, karena merasa bersalah dan salah paham dengan Islam dan tentang Rasulullah,” ungkap Shamsi.

Orang itu mengaku bahwa keinginan Shamsi Ali berjabat tangan dan tersenyum kepadanya Sabtu sebelumnya, walau dia telah bersikap sangat jahat kepada Rasulullah, menjadikannya merasa bersalah dan tidak bisa tidur.

“Singkat cerita, teman kita ini kemudian belajar tentang Islam dan akhirnya masuk Islam. Sekarang, dia rajin membagi-bagikan Al-Quran dan terjemahannya, serta informasi tentang Islam kepada warga Amerika,” tutur Shamsi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here