Buya Hamka: Meski Pandangan Berbeda, Kita Masih Bisa Bertetangga

4927

Muslim Obsession – “Meskipun pandangan kita berbeda, kita masih bisa bertetangga secara jujur. Karena pada pendirian kami, agama itu tidak bisa dipaksakan. Agama adalah soal petunjuk dan hidayah Ilahi”.

Kalimat tersebut keluar dari lisan Hamka, ulama sekaligus pengarang yang luas wawasannya dan dalam ilmunya. Sepintas kita akan segera tahu maksud dari tulisan itu, yakni mengandung semangat toleransi dalam bermasyarakat, khususnya di Indonesia.

“Kami” yang dimaksud dalam tulisan tersebut tentu merujuk kepada umat Islam. Inilah yang mesti dipahami segenap muslim, sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat. Di satu sisi, muslim memang diperintahkan untuk berdakwah, demi menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di muka bumi.

Akan tetapi, di sisi lain, mesti dipahami juga bahwa dalam berdakwah, hendaknya dengan cara yang baik-baik. Tidak dibenarkan dakwah dengan kekerasan, karena hal demikian akan membuat masyarakat takut dan menjauh.

Menghargai perbedaan juga pernah diperlihatkan Buya Hamka saat dia sedang pergi menuju tanah suci bersama KH. Idham Chalid. Ketika itu kedua tokoh muslim ini sedang dalam perjalanan menuju tanah suci dalam sebuah kapal laut. Di saat melakukan shalat subuh berjamaah, para pengikut Nadhlatul Ulama heran saat KH. Idham Chalid yang mempunyai kebiasaan menggunakan doa qunut dalam kesehariannya, malah tidak memakai doa qunut saat Buya Hamka dan sebagian pengikut Muhammadiyah menjadi makmumnya.

Sehingga seusai shalat Buya Hamka bertanya, “Mengapa Pak Kyai Idham Chalid tidak membaca qunut.” “Saya tidak membaca doa qunut karena yang menjadi makmum adalah Pak Hamka. Saya tak mau memaksa orang yang tak berqunut agar ikut berqunut,” jawab KH. Idham Chalid.

Demikian sebaliknya. Suatu ketika Buya Hamka mengimami shalat subuh, beliau membaca doa qunut karena KH. Idham Chalid  dan sebagian pengikut NU menjadi makmumnya. Seusai shalat, KH. Idham Chalid pun bertanya, “Mengapa Pak Hamka tadi membaca doa qunut subuh saat mengimami shalat?” “Karena saya mengimami Pak Kyai Idham Chalid, tokoh NU yang biasa berqunut saat shalat subuh. Saya tak mau memaksa orang yang berqunut untuk tidak berqunut,” jawab Buya Hamka.

Akhirnya kedua ulama tersebut saling berpelukan tanda keakraban. Jamaah pun menjadi berkaca-kaca menyaksikan kejadian yang mengharukan, air mata tak dapat mereka tahan. Hal ini juga mengingatkan kita persaudaraan antara pendiri organisasi terbesar umat Islam Indonesia ini, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan.

Bagi mereka perbedaan pandangan agama adalah soal petunjuk Ilahi, jadi seorang muslim tidak perlu kecewa ketika dakwahnya tidak disambut baik oleh masyarakat. Muslim hanya berkewajiban untuk berusaha sebaik-baiknya, soal hasil biarlah Tuhan yang mengatur. Pun tak perlu memaksakan kehendak kita sebagai muslim supaya orang yang dalam pandangan kita keliru, mengikuti kebenaran versi kita.

Perlu disadari pula bahwa perbedaan di antara manusia adalah sebuah keniscayaan. Satu ajaran yang diturunkan Tuhan kepada manusia, akan dimaknai berbeda-beda, sesuai dengan jumlah orang yang menerimanya. Dari sini kita mafhum, bahwa perbedaan telah menjadi sunnatullah  yang tak bisa dirubah.

Perbedaan ada bukan untuk diseragamkan, melainkan dikelola. Maka wajar jika Hamka sebagai muslim, mengatakan bahwa perbedaan tidak menghalanginya untuk bertetangga. Terlebih dalam Islam ditegaskan, menjamin keamanan dan kenyamanan tetangga termasuk perintah agama. Bahkan, belum disebut mukmin taat, jika tetangga yang tinggal di kanan-kirinya merasa tidak nyaman. Ini adalah bukti betapa luhurnya ajaran Islam. (Bal)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here