Oleh: Drs. H. Tb Syamsuri Halim, M.Ag (Pimpinan Majelis Dzikir Tb. Ibnu Halim dan Dosen Fakultas Muamalat STAI Azziyadah Klender)
Manusia yang tengah mencari jati diri akan meraba-raba siapa diri dia yang sebenarnya. Termasuk meraba-raba bagaimana seyogianya berperan sebagai seorang hamba dari Tuhannya, yakni Allah subhanahu wa ta’ala.
Manusia itu, termasuk diri kita sejatinya. Kita seringkali masih kesulitan memposisikan diri sebagai seorang hamba Allah. Cirinya pun jelas. Kita seringkali berperilaku seperti anak kecil. Atau yang lebih tepat seperti yang diutarakan Syekh Ibnu Atha’illah, bahwa kita seringkali berprilaku kekanak-kanakan.
Syekh Ibu Atha’illah dalam Kitab Al-Hikam menyatakan:
متي كنت اذا اعطيت بسطك العطاء واذا منعت قبضك المنع فاستدل بذلك علي ثبوت طفوليتك وعدم صدقك في عبوديتك
“Jika kau gembira ketika diberi Karunia oleh Allah dan kecewa saat ditolak-Nya, maka simpulkanlah bahwa itu adalah bukti kekanak-kanakanmu dan ketidaktulusan dalam penghambaanmu”.
Syekh Abdullah Asy-Syarqawi dalam syarah-nya menjelaskan bahwa hikmah di atas adalah penggambaran sikap kekanak-kanakkan kita di tengah orang-orang yang dekat dengan Allah.
Seperti halnya anak-anak yang tidak mempunyai rasa malu untuk mendekati tamu yang belum dikenalnya. Ini juga menjadi bukti ketidaktulusan penghambaan kita kepada Allah.
Saat seseorang merasa sempit karena tidak diberi dan merasa lapang saat diberi, ini pertanda bahwa ia masih mementingkan kepentingan diri sendiri dan hanya mengambil maslahat untuk dirinya saja.
Menurut kaum ‘Arif, bekerja untuk mendapatkan kepentingan dan masalah pribadi bertentangan dengan ‘ubudiyah.
Siapa yang mendekati kondisi itu pada dirinya hendaknya ia mengerti bahwa ubudiyahnya masih belum tulus. Seharusnya dirinya sadar bahwa ia sedang bersikap kekanak-kanakan di tengah orang-orang yang dekat dengan Allah. Terlebih lagi bila dia mengaku memiliki kedudukan seperti mereka.
Wallahu a’lam bish shawab.
