Bid’ahkah Halal Bi Halal?

401

Oleh: Ahmad Ghozali Fadli (Khodimul Ma’had Bumi Al-Quran Wonosalam, Jombang dan Sekjen PP Forum Muballigh Alumni (FMA) Gontor)

Halal bi halal berasal dari akar kata halla-yahillu bisa bermakna ‘singgah’, ‘memecahkan’, ‘melepaskan’, ‘menguraikan’, dan ‘mengampuni’.

Acara halal bi halal dimaknai sebagai ajang untuk saling singgah dan menjalin keakraban, memecahkan dan menguraikan masalah bersama, melepas amarah dan kebencian, serta saling mengampuni atau memaafkan kesalahan.

Dari halal bi halal, tradisi mudik muncul, guna bisa saling bertemu menjalin keakraban.

Kapan tradisi ini muncul? Sejarah mencatat, tradisi ini terinspirasi dari tradisi pisowanan yang sudah ada di Praja Mangkunegaran Surakarta pada abad ke-18.

Saat itu, Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I mengumpulkan para bawahan dan prajurit di balai astaka untuk melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri selepas perayaan Idul Fitri. Pisowanan secara bersama ini lebih efektif dan efisien.

Tradisi ini kemudian dipopulerkan oleh KH. Wahab Chasbullah pada tahun 1946. Pada masa itu, Indonesia diketahui sedang mengalami masalah disintegrasi bangsa. KH. Wahab akhirnya memberikan saran pelaksanaan kegiatan halal bi halal. Kegiatan ini dilakukan untuk tujuan membumikan dan menumbuhkan konsep ajaran Ahlussunah wal Jamaah.

Dengan kegiatan ini diharapkan masyarakat Indonesia dapat mempererat tali persaudaraan, kemanusiaan, dan kebangsaan. Ketiga Ukhuwah ini sering disebut dengan Ukhuwah Islamiyah, Basyariyah, dan Wathaniyah, yang biasanya dilakukan pada momen bulan Syawal untuk saling maaf memaafkan.

Tradisi ini terbilang ‘baru’ dan memang tidak dilakukan umat Islam di negara lain. Halal Bi Halal hanya populer di Asia Tenggara, terutama Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Apakah kemudian Tradisi ini Bid’ah? Silakan di-Bahtsul Masail-kan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here