Apakah Sah Shalat dari Mushalla Hotel Mengikuti Imam di Masjidil Haram?

343
Ilustrasi shalat di mushalla hotel dengan menghadap ke Ka'bah. (Foto: hotelmix)

Muslim Obsession – Salah satu pertanyaan yang sering disampaikan sejumlah jamaah haji adalah, bagaimana hukum shalat berjamaah dari hotel pada Musholla di Lantai P9 dan P10 atau semisalnya lalu mengikuti imam di Masjidil Haram, apakah shalat makmum sah?

Apakah boleh jamaah haji atau umrah berada di hotel di sekitar Masjidil Haram atau Masjid Nabawi mengikuti imam di masjid tersebut, entah makmum mengikuti shalat dari kamarnya atau dari musholla hotel?

Terkhusus lagi untuk hotel yang berada di sekitar Makkah di mana ada speaker yang bisa didengar di kamar, hingga bisa mendengar adzan, iqamah, dan shalat dari Masjidil Haram?

Menukil Rumaysho, ada ulama di Darul Ifta’ menyampaikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

BACA JUGA: Jamaah Haji Lansia Lebih Utama Shalat di Hotel daripada di Masjidil Haram, Apa Alasannya?

Para ulama telah menetapkan bahwa untuk mengikuti imam ada syarat dan ketentuan. Untuk mengikuti imam, makmum hendaklah mengetahui gerakan imam. Mengetahui imam ini bisa dengan: (1) melihat, (2) mendengar. Ini jika ada dalam satu bangunan.

Namun, jika imam dan makmum berada di bangunan berbeda, pada ulama memiliki perbedaan pendapat. Ada dua pendapat dalam hal ini.

Pendapat pertama:

Makmum mengikuti imam yang berbeda bangunan tidaklah sah. Inilah pendapat JUMHUR ULAMA (mayoritas ulama) dari kalangan Hanafiyyah, Syafiiyyah, dan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali.

Dari kalangan Hanafiyyah, Ibnu ‘Abidin berkata, “Jika berbeda tempat, maka ada halangan untuk mengikuti imam walaupun tanpa ada kesamaran. Kalau ada kesamaran, tidak sah mengikuti imam walaupun satu tempat.” (Radd Al-Muhtaar, 1:588)

Dari kalangan Syafiiyyah, dalam kitab Mughni Al-Muhtaaj (1:495) disebutkan, “Jika imam dan makmum berada dalam satu tempat, sah mengikuti imam walaupun jarak antara imam dan makmum itu jauh di dalam bangunan tersebut. Jika terhalang pintu, maka tidak disebut berada dalam satu tempat. Jika tidak ada jendela pada pintu tadi atau tidak ada lubang sesuai adat, maka walau satu masjid tidak disebut bersatu.”

BACA JUGA: Masjidil Haram Dibersihkan 10 Kali dalam Sehari Selama Musim Haji

Adapun dalam madzhab Imam Ahmad ada dua pendapat. Dalam kitab Al-Mughni (3:45), Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Jika antara imam dan makmum ada penghalang yang menghalangi terlihatnya imam atau berada di belakang penghalang tadi, Ibnu Hamid mengatakan ada dua pendapat.

Pendapat pertama mengatakan tidak sah makmum mengikuti imam dalam kondisi tersebut. Inilah yang dipilih oleh Al-Qadhi karena Aisyah berkata kepada para wanita yang shalat di kamarnya, “Kalian tidak bisa shalat mengikuti imam jika hanya dari kamar karena ada penghalang.” Karena seperti itu tidak mungkin mengikuti imam secara umum.

Pendapat kedua:

Shalat makmum yang mengikuti imam walau berbeda bangunan tetap sah. Inilah pendapat Malikiyyah dan salah satu pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni (3:45) mengatakan bahwa bermakmum dengan imam yang terhalangi sesuatu tetap sah. Selama mampu untuk mengikuti imam, maka tidak masalah walaupun tidak melihatnya secara langsung. Hal ini disamkaan dengan keadaan orang buta yang shalat.

BACA JUGA: Petugas Sektor Khusus Masjidil Haram Siaga 24 Jam di Sembilan Posko

Asalnya yang penting mengetahui keadaan imam, bisa dengan mendengarkan takbir. Seperti itu dianggap sama seperti menyaksikan langsung. Hal ini berlaku untuk makmum yang shalat di dalam masjid atau di luar masjid. Al-Qadhi memilih pendapat, hanya sah untuk yang di dalam masjid, tidak untuk di luar masjid.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:

Yang tepat dalam masalah ini, jika ada jamaah di luar masjid ingin mengikuti imam yang berada di dalam masjid, shafnya disyaratkan bersambung. Jika shafnya tidak bersambung, shalat makmum tidaklah sah. Misal, di sekitar Masjidil Haram terdapat hotel-hotel, lalu terdapat ruangan yang dipersiapkan untuk shalat, mereka bisa melihat imam atau para makmum, baik pada seluruh shalat atau sebagian shalat.

Maka menurut penulis Zaad Al-Mustaqni’, shalat yang dilakukan itu sah. Jika mereka mendengar iqamah, mereka bisa tetap di hotel mereka, lalu shalat bersama imam, maka tidak perlu menuju Masjidil Haram. Namun, menurut pendapat yang kedua, shalat yang dilakukan tidaklah sah karena shafnya tidak bersambung. Inilah pendapat yang lebih tepat. Lihat Syarh Al-Mumti’, 4:298.

BACA JUGA: Jamaah Haji Diimbau Pakai Jasa Kursi Roda Resmi di Masjidil Haram

Syaikh Dr. Amin bin Utsman dari Markaz Tarim Al-Fiqhy Hadromaut Yaman ditanya oleh penulis lewat pesan WhatsApp, lalu jawaban beliau mengenai masalah ini secara makna, “Shalat bagi makmum di hotel sekitaran Masjidil Haram adalah shalat yang tidak sah. Ada beberapa alasan mengenai tidak sahnya, yaitu: (1) shaf tidak bersambung dengan jamaah di hotel, shalat makmum barulah sah jika shaf bersambung sampai ke hotel yang berdampingan dengan Masjidil Haram; (2) tidak bisa menghadap kiblat dengan tepat, (3) terpisah dengan bangunan dan jalan.

Dalam madzhab Syafii, shalat makmum tersebut dari hotel yang dekat dengan Masjidil Haram tidaklah sah. Pendapat ini juga sama dengan madzhab Hambali. Namun, dalam madzhab Malikiyah menyatakan sah yang penting syaratnya adalah mendengar suara imam atau melihat sebagian makmum.

Yang Lebih Hati-Hati

Berdasarkan penjelasan di atas, jelas sekali ada perbedaan pendapat akan sah ataukah tidaknya dalam masalah ini. Ulama kontemporer pun berbeda pandangan sebagaimana ulama di masa silam.

Maka, lebih aman tidak bermakmum dengan imam yang berbeda bangunan walaupun bisa mengetahui gerakan imam, demi selamat dari perselisihan para ulama yang ada.

Wallahu a’lam bish shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here