Sosok amina wadud, Perempuan Pertama yang Jadi Imam Shalat Jumat

1660

Yogyakarta, Muslim Obsession – Bagi kalangan mahasiswa di perguruan tinggi Islam, pastilah mengenal sosok amina wadud. Perempuan kontroversi karena menjadi imam shalat Jumat di Amerika Serikat pada 2005 hingga 2008.

Ia dikenal sebagai salah seorang cendekiawan muslim. Banyak orang menyebutnya sebagai bagian dari kalangan Islam Libral. amina wadud memilih nama depannya ditulis dengan huruf kecil bukan huruf kapital, sesuai dengan penulisan huruf Arab.

amina wadud adalah seorang warga AS keturunan Afrika yang kini menetap di Yogyakarta, Indonesia. Karena kontroversinya itu, ia dijuluki sebagai ‘Lady Imam’. Namun, jauh sebelum itu, pada 1992, ia telah melakukan terobosan dengan menulis buku Quran and Woman.

Ia meraih gelar doktor dari University of Michigan, AS untuk studi Arab dan Islam. amina wadud juga mengenyam pendidikan bahasa Arab di American University di Kairo, Mesir, serta Studi Quran dan Tafsir di Universitas Al-Azhar, Mesir.

Ia memulai riset untuk bukunya, Quran and Woman sebagai bagian dari disertasinya sejak 1980-an. “Saya mempelajari bahasa Arab sebagai kunci bagi pintu pemahaman (Al-Quran), bukan sebagai pintunya,” kata amina.

Sejak diterbitkan 30 tahun lalu, Quran and Woman telah diterjemahkan ke dalam setidaknya tujuh bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Di dalamnya amina menulis, “Yang paling membuat saya khawatir akan tafsir ‘tradisional’ adalah tafsir tersebut secara eksklusif ditulis oleh para pria. Itu berarti pria dan pengalaman pria dilibatkan (di dalam tafsir), dan wanita serta pengalaman wanita bisa jadi tidak diikutsertakan, atau diintrepertasikan lewat visi, perspektif, dan kehendak pria.”

“Banyak pemikiran telah dicurahkan pada ilmu tafsir. Saya tidak mengatakan semuanya salah dan saya lah satu-satunya yang mengartikan Quran dengan baik, tidak,” kata amina.

“Maksud saya, saya tidak bisa melihat, di dalam literatur itu, kenyataan hidup saya sebagai wanita Amerika keturunan Afrika diartikulasikan dengan kedalaman yang sama dengan seorang pria,” kata amina lagi.

Tak berniat jadi orang kontroversial

Nama amina waduh melejit setelah ia memimpin ibadah shalat Jumat untuk jamaah laki-laki dan perempuan di New York, AS. Kala itu, ia mendapati dirinya di tengah pro dan kontra.

Namun, hal itu tidak menghentikannya untuk melakukan hal yang sama pada 2008 di sebuah masjid di Oxford, Inggris.

“Saya penuh kasih sayang, saya senang disayangi, dan tentunya saya menyayangi Allah tercinta. Jadi, tidak, saya tidak berniat menjadi kontroversial,” kata amina.

“Namun, saya memahami bahwa aspek-aspek tertentu (seperti) kesejahteraan manusia harga diri, keadilan, rasa hormat, saling timbal balik, adalah hal-hal tanpa syarat. Jika Anda memberikan syarat pada wanita atau non-biner untuk mendapatkan keutuhan diri sebagai manusia, saya cenderung teguh pada pendirian saya sebagai oposisi akan hal itu,” jelas dia.

Meski motivasi amina di balik penulisan Quran and Woman sarat akan nilai kesetaraan gender, ia mengaku kala itu tidak memandang dirinya sebagai seorang feminis, bahkan cenderung menolak label tersebut.

Begitu pun ketika ia memimpin ibadah shalat Jumat.

“Saya merasa tidak memerlukan hal lain selain Islam dan terus berkembang, belajar, dan memeluk Islam,” ungkap amina.

Ia baru menyambut istilah feminis pada 2009, dalam sebuah peluncuran pergerakan global Muslim untuk kesetaraan dan keadilan bernama Musawah. (Al)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here