Senja untuk Siti (Bagian 3)

976

Jimy mengatur aku mesti berteman dengan siapa saja. Selain itu, dia memintaku menjauhi semua lelaki yang berpotensi menghancurkan hubungan kami. Dia juga membatasiku agar tidak lagi mengikuti kursus menulis di Sanggar Kreatif di tempat lelaki gila itu tinggal.

Ah, soal ini aku tak bisa. Sebab bergabung dengan Sanggar Kreatif adalah mimpiku dari dulu. Ya, mimpiku adalah menjadi seorang penulis!

“Tolong jangan bentak aku! Aku tak suka! Aku bisa membatalkan semua ini jika sikapmu masih sok ngatur!” ingin sekali aku marah. Ingin sekali mengatakan ini. Uuuhhh… rasanya aku ingin menghajar Jimy.

“Apa? Kau mau membatalkan semuanya? Tidak bisa! Kita sudah terikat dengan cincin ini dan lagi pula kau sudah berjanji ingin hidup denganku, bukan? Ingat, janji itu hutang!” ya, dia selalu punya senjata ampuh untuk membuatku diam tak bisa berkutik.

Jimy mengambil kacamataku yang baru saja aku taruh di meja, lantas dia lekas melemparkannya tepat ke mukaku. “Pake otakmu!” katanya makin berang. Aku hanya diam, kembali menangis lagi.

Beberapa detik Jimy membiarkanku menangis. Detik berikutnya dia meminta maaf.

“Maaf sayang. Sebab aku cinta kamu.”

Ah, tidak Jimy. Aku sudah tak melihat cinta lagi di matamu. Aku membatin.

Oh ya, soal ini aku tak berani bercerita pada lelaki gila itu. Aku takut dia terlalu mengkhawatirkanku. Dan entah dari mana, lelaki gila itu selalu punya intuisi tentang keadaanku.

Kau kenapa? Suatu malam pesannya aku terima. Tanpa berpikir, aku lekas membalas; aku kangen kamu.

***

(Bersambung…)


Redaksi menerima tulisan berupa cerpen atau novel dari para pembaca untuk dimuat di rubrik Hikayat setiap akhir pekan. Kirimkan tulisan Anda ke email: [email protected]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here