Kisah Jantuk Mencari Tuhan (Bagian 2)

1450

Ataukah Baitullah? Bukankah Baitullah itu merupakan Rumah Allah? Tapi..?

Hati kyai kembali ragu. Telah lima belas kali ia mengunjungi Baitullah untuk berhaji dan telah tiga puluh kali ia berumroh untuk menghiba di Rumah Allah. Tapi, ia sendiri belum pernah menemui Allah di tempat itu.

Ahk, hati kyai itu kali ini benar-benar menjadi tambah ragu. Ia tidak ingin memberikan alamat yang ia sendiri pun tidak pernah bertemu dengan tuan rumahnya.

Untuk beberapa helaan nafas, Kyai berpikir keras: ia tidak yakin benar, apakah ia benar-benar mengenal Tuhannya.

“Kyai..” Jantuk mencoba menyadarkan lamunan Sang Kyai.

“Oh… anak muda, sejujurnya saya sendiri belum pernah bertemu dengan Tuhan. Saya tidak mengetahui secara pasti di mana alamatnya.”

“Bukankah Anda seorang Kyai? Anda tentu lebih menguasai ilmu agama dibanding orang kebanyakan. Anda tentu mengenal Tuhan..”

“Oh, bukan begitu. Saya hanya mengerjakan apa yang telah digariskan sebagai kewajiban. Apapun yang diperintahkan Allah pasti saya lakukan, adapun yang terlarang pasti saya hindari.”

“Bagaimana mungkin? Kyai sendiri tidak mengenal siapa yang memerintahkan kewajiban-kewajiban itu? Apakah Kyai membeli kucing dalam karung?”

Kyai kembali terdiam. Baru kali ini ia mendapat serangan sangat hebat. Selama 35 tahun memimpin pesantren tak satupun santrinya pernah bertanya seperti ini. Tiba-tiba saja ia tersadar betapa dangkalnya ilmu yang ia miliki. Hampir seluruh hidupnya habis untuk menggeluti ilmu agama. Sampai-sampai ia merasa memahami betul tafsir Al-Quran dan merasa mampu menguak kandungan Alhadits.

Kali ini, Sang Kyai benar-benar tersadar bahwa selama ini ia terjebak oleh rutinitas keagamaan yang ia sendiri kurang paham tentang siapa sesembahannya.

Gundah segera menyergap hatinya. Teriris dan berdegup kencang. Bertahun-tahun ia gigih memperjuangkan nilai-nilai yang dianggapnya benar berasal dari Allah dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Bertahun-tahun pula ia berbantah-bantahan tentang perihal bid’ah dengan kyai-kyai yang berseberangan dengannya. Ia tak sekadar mencaci bahkan mencap siapapun yang berseberangan dengannya sebagai kafir.

Kini, seorang anak muda menyibak tirai kebodohannya. Kyai tersadar bahwa selama ini ia sosok egois yang tidak mengerti apa-apa!

“Baiklah, Kyai. Kalau begiatu saya pamit meneruskan perjalanan untuk mencari Tuhan.”

“Silakan, Nak. Sampaikan salam kepada-Nya dan katakan pula bahwa saya siap jika sewaktu-waktu dipanggil menghadap-Nya untuk masuk surga,” sahutnya dengan nada melemah. Wajahnya terkulai.

“Baik, Kyai. Assalamu’alaikum!”

Wa’alaikumussalam.”

 

Bersambung…


Karya: Dzunnun Bilba (Pecinta Literasi Sastra)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here