Gus Sholah: Saya NU yang Masyumi

1076

Menurut juru bicara Partai Masyumi, Anwar Harjono, di antara NU dengan Masyumi memang pernah terdapat perbedaan, tetapi lebih banyak lagi persamaannya.

Dalam tulisan di majalah Media Dakwah, Mei 1994, Harjono yang pernah menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Masyumi mengungkapkan, bahwa sesudah menyatakan keluar dari Masyumi dan berdiri sebagai partai politik, kerja sama di antara Masyumi dan NU tetap terjalin baik.

Ketika terbentuk Kabinet Boerhanoeddin Harahap (Masyumi), terdapat kerja sama yang baik dengan NU. Dua posisi strategis diberikan kepada NU, yaitu Menteri Dalam Negeri Mr. Soenarjo dan Menteri Agama K.H.M. Iljas.

Baca juga:

Kabar Duka, Gus Sholah Berpulang

Cerdas dan Bersahaja, TGB Terkesan Sosok Gus Sholah

Kenang Gus Sholah, UAS: Ternyata Ada yang Lebih Cepat dari Niat

Menjelang pemilihan umum 1955, pemimpin empat partai politik Islam: Masyumi, NU, PSII, dan Perti mengeluarkan Pernyataan Bersama yang intinya menyerukan umat Islam pengikut dan pendukung keempat partai agar sungguh-sungguh menjaga supaya perbedaan paham di lapangan politik jangan sampai merusak ukhuwah Islamiyah.

Sesudah terbentuk kabinet hasil pemilu 1955, kerja sama Masyumi dengan NU tercermin di dalam Kabinet Ali-Roem-Idham yang merupakan koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU.

Di Konstituante yang bertugas menyusun konstitusi definitif, kerja sama antara Masyumi, NU, dan semua partai politik Islam, juga terjalin dengan sangat baik.

Di masa pergolakan daerah dan ekses sesudahnya, kerja sama NU dengan Masyumi juga tidak mengalami masalah. Masyumi, NU, dan partai-partai pembela demokrasi bersama-sama membentuk Liga Demokrasi menolak pembubaran DPR hasil pemilihan umum 1955 oleh Presiden Sukarno.

Menurut Harjono, agar lebih objektif, hubungan NU dan Masyumi hendaknya jangan hanya dilihat perbedaannya. “Lagi pula,” tulis Harjono, “penilaian-penilaian negatif terhadap Masyumi tidak mempunyai dasar sejarah. Memahami hal itulah, Musyawarah Nasional Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia, pada 3 Desember 1966 di Jakarta, mendesak pemerintah agar segera merehabilitasi Masyumi, karena secara yuridis-formal pembubarannya tidak sah. Dan secara yuridis-material, tidak beralasan. Masyumi adalah korban politik rezim Orde Lama.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here